Pada tanggal 28 Maret 2016 diadakan kuliah umum untuk mahasiswa mata kuliah Methodology of Interview and Observation dimana pembicara, Edward Andriyanto Soetardhio, M.Si (yang lebih akrab disapa “mas Ewa”), memberi wawasan tentang melakukan wawancara pada anak dan remaja. Sebagai tugas terkait dengan kuliah umum tersebut, mahasiswa kelas BB64 diminta untuk membuat rangkuman tentang wawasan yang didapat. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk membahas isu apa seputar anak dan remaja yang menurut mereka penting untuk mendapatkan perhatian khusus oleh masyarakat, psikolog dan/atau praktisi di bidang anak dan remaja dimana dengan mengaplikasikan metode wawancara dan observasi dapat memberi insight yang lebih berarti guna memahami isu tersebut.

Berikut adalah karya tulisan salah satu mahasiswa di mata kuliah Methodology of Interview and Observation semester genap 2015-2016 kelas BB64, Ghina Rinanda Nurrizki:

GLS (Guess Lecture Session):
How to Interview Children and Adolescence
by Edward Andriyanto Soetardhio

Rangkuman GLS

Pada hari Senin, 28 Maret 2016, Psikologi Binus mengadakan kuliah umum dengan dosen tamu bagi mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menempuh mata kuliah Metode Observasi dan Wawancara. Dalam kegiatan kuliah umum tersebut, Pak Edward Andriyanto Soetardhio, M.Si hadir sebagai pembicara. Pak Edward Andriyanto Soetardhio merupakan salah seorang psikolog yang mendalami bidang klinis anak dan staff pengajar di Universitas Indonesia. Pada kegiatan tersebut, Pak Edward memberikan materi tentang bagaimana mewawancarai anak dan remaja.

Sebagai submateri pembuka, Pak Edward memaparkan beberapa hal yang menjadi alasan diperlukannya mewawancarai anak. Yang pertama adalah diperlukan untuk psychological assessment. Interview untuk keperluan psychological assessment karena sebagai salah satu sumber data referensi yang mendasari keperluan penilaian tersebut. Psychological assessment tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan harus disertai oleh data pendukung. Kemudian, wawancara terhadap anak kecil dapat membantu development assessment (penilaian perkembangan). Kita dapat melihat sejauh mana perkembangan seorang anak melalui jawaban yang dilontarkan anak, bagaimana cara anak menjawab baik dari verbal, non-verbal cues, dan sebagainya. Selanjutnya, alasan yang ketiga adalah investigasi kekerasan dan kelalaian. Di Indonesia, kasus tentang kekerasan dan kelalaian pada anak sangat merajalela. Untuk menginvestigasi kasus tersebut, mewawancarai anak tentunya dapat dijadikan metode untu menggali informasi. Alasan keempat, interview digunakan untuk proses legal. Selain itu, alasan yang mendasari adanya interview yaitu adalah untuk situasi yang darurat. Interview dapat digunakan untuk menggali informasi dalam situasi yang darurat. Alasan lain ada placement dan research. Research membutuhkan sumber data – data pendukung untuk menguji hipotesis. Research yang melibatkan anak sudah semakin bertambah banyak.

Pembicara pun menjelaskan bahwa terdapat teknik yang perlu dilakukan untuk interview anak. Sama seperti meng-interview orang dewasa yaitu membangun kedekatan atau keakraban. Namun membangun keakraban dengan anak memiliki teknik – teknik khusus agar anak merasa nyaman diwawancarai. Mengidentifikasi topik yang diminati, anak akan merasa nyaman dan tertarik apabila kita membahas topik yang ia minati. Berbagi mainan, setiap tahap usia anak bahkan setiap anak (secara individual) memiliki minat terhadap mainan dan jenis mainan kesukaan yang berbeda. Misalnya, anak usia 8 tahun senang bermain yoyo sedangkan anak usia 12 tahun lebih suka bermain playstation. Berbagi mainan dengan anak akan membuat anak merasa lebih nyaman dan terbuka terhadap kita. Teknik selanjutnya yaitu duduk didekat anak dengan level yang sama. Duduk dengan level yang lebih tinggi akan cenderung memperlihatkan otoritas kita sebagai orang dewasa sehingga anak akan menjadi segan dan takut terhadap kita. Kemudian, kita bisa melakukan kontak mata. Kontak mata yang sewajarnya akan membuat anak nyaman. Serta melakukan diskusi mengenai topik yang anak minati kalau waktunya cukup dan berhubungan dengan tujuan dari sesi wawancara.

Dalam melakukan wawancara dengan anak, pembicara menganjurkan agar kita tidak mengganggu, membahayakan, dan mengeksploitasi anak.Karena hal tersebut melanggar etika yang berlaku. Orang tua atau orang dewasa sebagai pendamping anak harus percaya bahwa anak merasa kenyamanan, hak, dan minat anak terlindungi. Selain itu, data – data yang didapatkan bersifat confidential (rahasia). Seorang psikolog maupun ilmuwan psikologi tidak boleh memberikan data apapun pada orang lain karena etika confidentiality harus digenggam erat. Kemudian, ketika kita mewawancarai anak dengan topik topik tertentu, kita harus memberi perhatian khusus. Misalnya isu – isu mengenai hal yang membuat anak cemas dan marah, hal – hal yang berkaitan dengan masalah keluarga yang sensitif, masalah yang dapat membuat buruk hubungan anak dengan orang tua, hal yang bertemakan religius, agama, dan sosial, masalah yang berfokus pada aktivitas seksual, hal yang sulit diterima di masyarakat. Untuk menanyakan hal tersebut, kita perlu ekstra hati hati dalam menggali informasi seputar masalah tersebut. Ketika kita menggali informasi tersebut kita harus dapat menutup kembali hasil “galian” tersebut. Dan kita pun harus sudah mengantongi consent dari orang tua atau orang dewasa pendamping anak tersebut yang memiliki otoritas.

Selain itu, ethical issue lainnya adalah ketika kita dibutuhkan dalam market research dan kita diinstruksikan agar anak – anak menjadi tester dari produk yang belum tentu terjamin keamanannya. Sebagai ilmuwan psikologi yang baik, kita tidak bisa melakukannnya karena hal tersebut melanggar etika.

Masih berkaitan dengan ethical issues, pembicara mengatakan bahwa sebelum mewawancarai anak – anak usia dibawah 18 tahun, kita harus mendapat consent dari orang tua atau orang dewasa yang mendampingi dan bertanggung jawab terhadap anak tersebut. Informasi yang cukup harus diberikan pada orang – orang tersebut.Apabila orang dewasa yang bertanggung jawab pada anak tersebut akan tetap dekat dengan anak selama wawancara, hal itu wajar.

Dalam mewawancarai anak, dibutuhkan skill khusus yaitu bagaimana mengajukan pertanyaan. Untuk pertanyaan – pertanyaan yang sifatnya sensitif bagi anak, interview perlu diwarnai oleh permainan yang dapat membuat anak menjadi lebih tenang dan nyaman. Selanjutnya, listening skills perlu ditingkatkan. Karena dalam interview kita tidak hanya mendengar apa yang anak katakan, tetapi bagaimana si anak mengatakan hal tersebut. Kita pun harus melihat bagaimana psychological cues-nya, lalu kita juga menyadari apa yang tidak dikatakan seperti perasaan dan fakta tersembunyi. Kemudian, skill lain yang harus dimiliki adalah bagaimana kita mengarahkan percakapan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Serta kita harus mengikuti isyarat – isyarat penting.

Pembicara kemudian memaparkan tantangan – tantangan dalam mewawancarai orang dewasa. Yang pertama adalah kemampuan kognitif dan bahasa anak. Kemampuan kognitif dan bahasa anak belum berkembang dengan matang seperti layaknya orang dewasa. Sebagai interviewer, kita perlu memberikan pertanyaan dengan bahasa – bahasa yang lebih mudah dipahami oleh anak. Yang kedua adalah anak – anak dibawa oleh orang dewasa untuk diwawancarai tanpa adanya kemauan anak sendiri. Biasanya anak dibohongi dengan kebohongan tertentu agar anak mau ikut dengan orang dewasa. Selanjutnya, anak – anak tidak mau diwawancara karena mereka menganggap bahwa mereka diwawancara karena perilaku yang buruk misalnya karena nakal atau malas.

Tantangan untuk mewawancara anak di usia pre-school adalah kecenderungan yang tinggi terdapat sugesti. Sebaiknya kita menghindari hal tersebut agar mendapat jawaban yang objektif dari anak.Selain itu, anak enggan untuk menjawab pertanyaan dari seorang dewasa yang asing bagi dia. Untuk meminimalisir hal tersebut, kita harus mewarnai wawancara tersebut dengan permainan yang bisa membuat anak tersebut rileks dan kita bisa mendapat kepercayaan dari anak tersebut. Selain itu, karena kapabilitas bahasa anak yang masih terbatas, kita bisa membuat setting khusus agar anak bisa mengekspresikan apa yang ingin dikatakan.

Tantangan lain yang muncul dalam mewawancarai anak dan remaja adalah anak belum siap untuk diwawancarai karena beberapa hal. Selain itu, tantangan lainnya adalah kesalahpemahaman tentang persepsi mengenai psikolog. Orang awam akan berpikir bahwa orang yang pergi ke psikolog adalah orang gila, orang dengan gangguan jiwa, dan sebagainya. Sehingga anak menjadi malas dan tidak tertarik untuk diwawancara psikolog. Lalu, tantang lainnya adalah kesulitan berkomunikasi bagi anak – anak berkebutuhan khusus.

Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mewawancarai anak dengan usia sekolah antara lain dengan talking interview, terdapat sesi bermain yang menyenangkan, mengeksplorasi dunia anak, mengeksplorasi konten dari mimpi anak, board games, membawa anak keluar kantor agar anak tidak bosan, mewawancara anak di rumah atau di sekolah, serta fokus. (Soetardhio, 2016)

Dalam mewawancarai anak usia sekolah, kita perlu memiliki pengetahuan dan gaya bahasa yang cukup dan bisa membuat anak bicara banyak dan menjawab pertanyaan. Anak – anak sangat menyukai permainan. Permainan sangat penting bagi hidup anak. Serta fantasi, cara khusus anak dalam berpikir.

Ketika mewawancarai middle childhood – early adolescence kita perlu membuat identifikasi pertemanan serta kita harus menampilkan perilaku yang biasa saja serta dapat diterima. Kita harus mengontrol reaksi – reaksi kita ketika mendengar jawaban dari anak agar anak bisa lebih nyaman ketika sharing dengan kita.

Ketika kita hendak mewawancarai remaja madya, kita bisa berinteraksi layaknya seusia dengan mereka untuk menutupi otoritas dewasa yang kita punya. Rasa ingin tahu remaja mengenai penelitian dan idealisme mereka tetang topik penelitian bisa memotivasi mereka untuk berkoperasi dengan interviewer.

Pada masa remaja, individu akan berkembang dalam berbagai macam aspek seperti pembentukan identitas, konflik mengenai kebebasan/kemandirian vs keterkaitan, perkembangan seksual, efek dari teman sebaya, permintaan masyarakat vs perkembangan individual, dan masalah dalam keluarga (Soetardhio, 2016)

Terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mewawancarai remaja.yang pertama adalah ketika akan mewawancarai remaja, lebih baik bertemu remaja dulu baru bertemu orang tuanya. Hal ini agar remaja tidak berburuk sangka dan cemas sehingga remaja tidak malas untuk diwawancara. Kemudian, kita bisa mengklarifikasi dan menentukan batas – batas confidentiality. Kemudian kita bisa mewawancarai seperti layaknya orang yang sedang meeting. Lalu kita bisa mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengatakan yang tidak ingin dikatakan. Selain itu, tujuan dari interview harus dijelaskan. Dan teknik lainnya adalah penggunaan bahasa dan istilah – istilah yang mudah dipahami.

Berbagai isu lain yang berkaitan dengan wawancara anak dan remaja dapat mempengaruhi wawancara tersebut seperti karakteristik personal interviewer mungkin memiliki efek yang signifikan pada apa yang akan dikatakan responden pada interviewer. Serta situasi seperti lingkungan atau konteks tertentu akan membentuk respons anak.

Salah satu kesulitan dalam untuk mewawancarai anak adalah kecenderungan anak untuk selalu bilang “iya”. Terdapat beberapa alasan yang berkemungkinan mendasari hal tersebut antara alain adalah tidak tahu untuk menjawab, tidak mengerti mengenai pertanyaannya, malu untuk menjawab yang lebih kompleks, tidak mau mengakui apa yang mereka tahu, atau bahkan sama sekali tidak tahu mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut. Kesulitan – kesulitan lain yang mungkin muncul pada saat mewawancarai anak – anak adalah seperti distraksi, prioritas yang berbeda, egosentrisme, distrorsi, dan bantuan untuk menjawab.

Isu atau Fenomena terkait masa kanak – kanak

Kemajuan teknologi yang terus berkembang di zaman modern ini membuat kita semakin mudah mengakses berbagai informasi yang kita butuhkan. Siaran televisi yang kini tidak lagi hitam putih, terus menyajikan berbagai tayangan dengan tujuan untuk menghibur para pemirsa. Internet, tidak hanya sekedar membantu mengirim pesan elektronik yaitu email. Segala hal untuk memenuhi kebutuhan manusia semakin efisien dan tidak banyak memakan waktu.

Kemajuan teknologi memberikan banyak dampak baik bagi kehidupan manusia. Namun tidak ayal, kemajuan teknologi pun dapat menimbulkan banyak dampak buruk bagi kehidupan manusia terutama perkembangan anak.

Di usia anak yang merupakan kategori early childhood hingga late childhood, anak – anak seharusnya sedang mengeksplorasi pengetahuan dan bakatnya serta permainan yang menyenangkan hatinya. Namun, di zaman modern ini hal tersebut justru dianggap kuno. Di zaman modern ini, sudah banyak anak dengan kategori middle childhood yang mulai membina hubungan asmara, atau yang akrab disebut pacaran.

Ya, pacaran. Mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar kata pacaran. Namun bagaimana kalau pacaran terjadi pada anak – anak yang duduk di bangku sekolah dasar? Lalu mirisnya lagi, anak – anak tersebut merasa bangga dan tidak malu sehingga mereka justru semakin memperlihatkan hubungannya. Tak jarang hubungan tersebut bukan hanya hubungan asmara semata, bahkan merekapernah melakukan hubungan seksual. Situasi ini sangat memprihatinkan, bukan?

Sudah banyak berita – berita di media cetak maupun di media elektronik yang menyajikan berita ini. Bahkan tak jarang, berita tersebut dijadikan sebagai headline news. Saya sendiri sering melihat fenomena ini baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui media sosial seperti instagram dan ask.fm). Kita tidak bisa hanya menyalahkan anak (sebagai pelaku). Kita perlu melihat aspek – aspek lain dari kehidupan anak tersebut seperti bagaimana pola asuh dan pengawasan orang tua, lingkungan sekitarnya, bagaimana cara dia mengakses informasi, ataupun bagaimana pergaulan dengan teman sebayanya.

Menurut saya, fenomena ini merupakan fenomena yang perlu menjadi sorotan dan perlu diteliti karena dampaknya yang buruk terhadap perkembangan anak.

Berkaitan dengan mata kuliah Metode Observasi dan Wawancara, saya melihat bahwa fenomena ini dapat diteliti secara kualitatif dengan metode observasi maupun wawancara sebagai metode penggalian informasi untuk data penunjang penelitian. Observasi dapat dilakukan dengan menjadi observasi partisipan dimana observer turun langsung ke dalam kehidupan subyek. Observer turun langsung ke dalam aktivitas sehari – hari subyek agar bisa mengamati berbagai aspek didalam kehidupan anak tersebut. Sebelum melakukan observasi, observer perlu membangun keakraban (building rapport) dengan subyek. Hal ini dikarenakan agar subyek menjadi lebih nyaman dan terbuka terhadap observer. Building rapport tersebut pun berguna untuk proses interview agar subyek mau memberi jawaban yang jujur. Kemudian peneliti pun harus menunjukkan bahwa posisi antara peneliti dan subyek adalah seimbang, tidak ada yang memiliki otoritas.

Sebelum melakukan kedua metode tersebut, peneliti bisa memberi informed consent. Namun, apabila peneliti tidak yakin apabila subyek akan menunjukkan perilaku yang jujur, peneliti bisa melakukan sedikit deception. Penelitian dengan metode observasi partisipan tersebut memiliki kelemahan, salah satunya adalah kemungkinan untuk tidak objektif. Maka dari itu, peneliti harus bisa berhati – hati dan lebih objektif.

Setelah melakukan penelitian, peneliti melaporkan hasil dari penelitiannya kedalam bahasa yang mudah dipahami dan membuat pikiran pembacanya lebih terbuka serta penulisan laporan tersebut dibuat persuasif.

Menurut saya, metode – metode penelitian tersebut dapat membuat penambahan pemahaman bagi masyarakat mengenai fenomena tersebut. Karena dengan observasi dan wawancara tersebut, kita bisa melihat fenomena tersebut melalui kacamata subyek. Setelah masyarakat memahami fenomena dari sudut pandang subyek, masyarakat diharapkan agar lebih open-minded untuk memikirkan intervensi dari fenomena tersebut karena masyarakat tidak hanya melihat fenomena dari sudut pandangnya sendiri.

Written by Ghina Rinanda Nurrizki, 1801410462

Sumber Acuan :

Soetardhio, E. A. (Presenter). (2016, Maret 28). How to Interview Children and Adolescence.     Jakarta.