NURUL ADINDA

LB64

1601269742

 

 

Hubungan Tingkat Kepercayaan Diri Dengan Tingkat Konformitas Perilaku Merokok

 

 

Latar belakang

nurul

Remaja menurut Piaget (dalam Ali dan Asrori, 2004) adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Pada masa peralihan ini, status remaja dapat dikatakan tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan (emosinya masih belum stabil). Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa (Hurlock, 2003). Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Perubahan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi dan bahasa tubuh. Sedangkan perubahan sosial-emosional meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Pada remaja emosi yang dimilikinya masih belum stabil dan mereka sulit untuk mengambil keputusan ataupun menentukan langkah pada kepustusan dengan benar.

Hal yang sering menjadi permasalahan bagi remaja salah satunya adalah maslaah yang terkait dengan perilaku merokok. Perilaku merokok, dilihat dari berbagai sudut pandang manapun sangat merugikan, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang-orang sekitar. Perokok aktif berisiko untuk terkena kanker hati dan paru, bronkitis kronis, emphysema, gangguan pernafasan, kerusakan dan luka bakar, berat badan rendah dan perkembangan yang terhambat pada bayi (Center for The Advancement of Health dalam Taylor 2006). Dampak rokok bahkan sudah terlihat pada perokok di umur 20-an yaitu terdapat kerusakan permanen pada saluran kecil di paru-paru dan pembuluh darah mereka serta cairan dari paru-paru perokok menunjukkan peningkatan sel radang dan meningkatnya level kerusakan pada paru-paru (U.S. DHHS, dalam Slovic, 2001). Perokok yang tidak berhenti sebelum berusia 35 tahun memiliki peluang sebesar 50% meninggal disebabkan oleh penyakit yang berkaitan dengan rokok (Doll, et al., dalam Mc.Vea, 2006) (Siti Chodijah juli, 2012).

Namun ada banyak alasan yang melatar belakangi perilaku merokok pada remaja. Secara umum menurut Kurt Lewin (dalam Komasari dan Helmi 2000), bahwa perilaku merokok merupakan faktor dari lingkungan maupun individu itu sendiri atau secara konformitas ataupun dilihat dari sisi self esteem. Menurut Hurlock (2004) perkembangan biologis pada remaja terlihat jelas dari perubahan tinggi badan, bentuk badan, berkembangnya otot-otot tubuh, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan remaja putri seringkali menjadi tidak suka dengan keadaan tubuhnya dan menjadikan remaja menjadi tidak percaya diri. Perubahan sosial yang dialami remaja menyebabkan remaja harus menyesuaikan diri dengan teman sebayanya dan orang lain. Akibat tidak percaya diri menyebabkan remaja mencari cara untuk dapat meningkatkan percaya dirinya. Salah satu cara adalah dengan penggunaan barang-barang yang dianggap mampu meningkatkan rasa percaya dirinya (Meida Devi Wardhani 2009). Baron dan Byrne (1997), mendefinisikan konformitas sebagai suatu bentuk penyesuaian terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan dari kelompok sosial untuk menyesuaikan, meskipun tuntutan tersebut tidak terbuka. Konformitas juga diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan atau menerima standar norma yang dimiliki kelompok (Fuhrmann, 1990), sementara itu Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya.adanya keterkaitan antara komformitas dengan self esteem salah satunya remaja dengan harga diri yang rendah biasanya akan mencari pengakuan dan perhatian dari orang lain terutama teman sebayanya, salah satu cara yang dilakukan remaja untuk meningkatkan harga dirinya adalah dengan bergabung atau melakukan apa yang dilakukan kelompok (Meidha Devi Wardhani) seperti halnya merokok, jika seorang dengan tingkat self esteem yang rendah, yang membutuhkan pengakuan terhadap dirinya, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal yang sama untuk dirinya diakui oleh teman sebayanya.

Oleh karena itu dari uraian diatas mengungkapkan bahwa ada suatu keterkaitan antara konformitas dengan harga diri remaja merokok. Harga diri (self esteem) dari seorang reamaja, tidak terlepas dari konformitas atau pengaruh kelompok. Dan konformitas pada remaja dilakukan karena ingin meningkatkan self esteemnya atau harga dirinya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “hubungan antara Self Esteem dengan Konformitas merokok remaja”.

 

 

VARIABEL

KEPECAYAAN DIRI (SELF ESTEEM)

Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian

terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi pembanding. Sedangkan Chaplin (2004)

memberikan pengertian tentang harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Worchel (dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2003) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang.

Berdasarkan uraian diatas, harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri, baik atau buruknya, diterima dilingkungan atau tidaknya dan bagaimana tentang rasa pernghargaan dirinya terhadap orang lain.

  1. Aspek-aspek harga diri

Menurut Coopersmith (1967) aspek-aspek harga diri meliputi:

  1. Self value, diartikan sebagai nlai-nilai pribdi individu yaitu isi dari diri sendri. Lebih lanjut dikatakan bahwa harga diri ditentukam oleh nilai-nilai pribadu yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya.
  2. Leadership popularity, Coopersmith menunjukkan bahwa individu memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership). Sedangkan popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam harga diri, oleh sebab itu semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi.
  3. Family parents, Coopersmith dalam membahas harga diri sangatmenekankan perasaan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak akan memberi dasar bagi pembentukan rasa harga diri yang tinggi pada masa dewasanya kelak.
  4. Achievement, individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mengarahkan pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi.Aspek-aspek harga diri menurut Gecas (1982) yaitu :
  • dimensi worth mengarah pada tingkat individu merasa bahwa dirinya berharga atau memiliki nilai
  • Dimensi competence mengarah pada tingkat seseorang melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang dapat dan mampu.

 

  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri

Menurut Koentjoro (1989) harga diri yang dimiliki oleh individu selalu

mengalami perkembangan. Hal-hal yang mempengaruhi harga diri adalah :

  1. Lingkungan keluarga, lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Perilaku adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis didapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi
  2. Lingkungan sosial, Lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi bagi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri. Sebaliknya pengalaman keberhasilan, persahabatan, dan kemasyuran akan meningkatkan harga diri.
  3. Faktor psikologis, penerimaan diri akan mengaragkan individu mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuk hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa

 

  1. Jenis kelamin, perbedaanjenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam pola piker, cara berpikir, dan bertindak antara laki-laki dan perempuan

 

  1. Perkembangan harga diri

Harga diri bukan merupakan faktor yang di bawa sejak lahir tetapi

merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu

(Tjahjaningsih & Nuryoto, 1994). Menurut Pudjijogyanti (1985) bahwa

pembentukan harga diri diawali ketika seorang anak mampu melakukan persepsi

dalam interaksinya dengan lingkungan. Harga diri bukan merupakan faktor yang

dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dari hubungannya dengan

orang lain. Setiap individu dalam berinteraksi dengan orang lain ini akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin

bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri.

 

KONFORMITAS

Konformitas sebagai pengaruh sosial didefinisikan secara berbeda-beda oleh banyak ahli. Deutch dan Gerrard (dalam Brehm dan Kassim, 1993), menyatakan bahwa konformitas merupakan kecenderungan perubahan persepsi, opini, dan perilaku agar sama dengan kelompok. Baron dan Byrne (1997), mendefinisikan konformitas sebagai suatu bentuk penyesuaian terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan dari kelompok sosial untuk menyesuaikan, meskipun tuntutan tersebut tidak terbuka. Konformitas juga diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan atau menerima standar norma yang dimiliki kelompok (Fuhrmann, 1990). Willis (dalam Seidenberg & Snadowsky, 1976), mengartikan konformitas sebagai kecenderungan seseorang untuk berperilaku, dengan maksud memenuhi harapan kelompok sebagaimana harapan ini dilihat oleh kelompok.

Lebih lanjut Sherif (dalam Hewstone dkk, 1996), menunjukkan ketika seseorang menghadapi stimulus yang ambigius dan tidak berstruktur ia jarang membangun sudut pandang sendiri yang stabil dalam menilai stimulus tersebut, dan pandangannya akan segera berubah ketika dihadapkan pada pandangan orang lain. Seseorang akan memiliki dua bentuk kecenderungan ketika diharapkan memberi penilaian terhadap stimulus di hadapan sekelompok orang, yaitu kecenderungan untuk benar dan kecenderungan untuk terlihat baik pada kelompok. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Asch (dalam Engel dkk, 1990) dan Sherif (dalam Hewstone dkk, 1996).

Dari penjelasan tersebut di atas, konformitas dapat disimpulkan sebagai

perubahan persepsi, keyakinan dan perilaku individu terhadap kelompok karena

adanya tuntutan ataupun tekanan yang sifatnya nyata atau sesuatu yang

dibayangkan sebagai tuntutan kelompok.

 

  1. Tipe-tipe Konformitas

 

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa berbagai bentuk konformitas sebagai

pengaruh sosial dapat terjadi pada remaja untuk menyesuaikan din dengan

kelompok. Konformitas tidak hanya muncul dalam perilaku individu sebagai

akibat adanya tuntutan yang tampak saja, namun ada juga konformitas yang

manifestasinya diinternalisasi oleh individu sehingga bukan hanya perilakunya

saja yang menunjukkan kesepakatan dengan kelompok. Lebih dari itu, pikiran,

perasaan dan sikapnya juga sepakat dengan kelompoknya.

konformitas dapat dibedakan dalam beberpa tipe.

 

  • Ada orang yang ketika berada di luar kelompok akan berusaha untuk mengembangkan dan mempertahankan pendapatnya. Namun ketika orang tersebut berada di tengah-tengah kelompok dia akan setuju dan sepakat dengan pendapat kelompok dan mengabaikan pendapatnya sendiri. Tipe konformitas semacam ini disebut compliance atau simple compliance.
  • tipe acceptance (Myers, 1983) atau Worchel dan Cooper (1983) di sebut private

acceptance. Pada konformitas tipe ini individu benar-benar berusaha untuk

menyetujui dan menyamakan diri dengan kelompoknya, baik ketika berada di

dalam kelompok ataupun di luar kelompoknya.

–     Kelman (dalam Worchel & Cooper, 1983), menambahkan tipe konformitas

yang lain adalah Identification. Tipe ini terjadi ketika seorang individu meniru

perilaku individu lain yang dianggap penting dengan maksud untuk

mempertahankan hubungan. Konformitas tipe ini hanya bertahan selama individu

masih memandang penting hubungan tersebut dan berharga bagi individu.

 

Allen, Kelman dan Mascovici (dalam Brehm & Kassim, 1990), mengemukakan dua tipe dari konformitas yaitu:

  1. Private conformity sama dengan acceptance yaitu perilaku konformitas yang dilakukan tidak hanya dengan merubah perilaku luar saja, tapi juga merubah

pola pikir. Konformitas merupakan hasil dari adanya informational influence.

  1. Public conformity disebut juga dengan compliance, yaitu perilaku konformitas yang hanya dilakukan dengan merubah perilaku luar tanpa adanya perubahan pola pikir. Perilaku konformitas tipe ini merupakan hasil dari normative social influence.

 

  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas

 

Perilaku konformitas inuncul karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Worchel

dan Cooper (1983), mengelompokkan secara umum faktor yang mempengaruhi

konformitas ke dalam dua faktor, yaitu :

  1. Faktor personal, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri dan

melekat pada pada pribadi individu. Seperti dikatakan oleh Hancock dan

Sorentino (dalam Worchel dan Cooper, 1983), individu yang sering merasa tidak

aman dengan posisinya, memiliki keinginan yang tinggi untuk diterima di tengahtengah

kelompok. Mereka jarang memperoleh social support dalam kelompok

yang berakibat pada menurunnya rasa percaya diri. Hal di atas merupakan salah

satu faktor personal yang menyebabkan individu berperilaku konformistis.

Faktor lain, menurut Rosenberg (dalam Aziez, 1994), adalah kompetensi atau

tingkat pendidikan. Konformitas kemungkinan teijadinya sangat kecil, jika tingkat

kompetensi yang tinggi dimiliki oleh individu. Tingkat kompetensi yang tinggi

tidak dapat begitu saja dimiliki oleh individu melainkan melalui sebuah proses,

seperti proses pendidikan.

Faktor lainnya yang masih tergolong dalam faktor personal menurut Sears dkk

(1994) adalah kepercayaan diri. Konformitas dipengaruhi oleh sejauh mana

kepercayaan diri individu terhadap penilaiannya sendiri.

 

  1. Faktor situasional meliputi dua macam karakteristik, yaitu karakrateristik kelompok dan karakteristik tugas (group characteristic and task chraracteristic). b.l. Group Characteristic, teijadi karena adanya ketidakbulatan suara dalam kelompok Asch dalam Worchel dan Cooper (1983) mengemukakan pendapat, bahwa apabila seorang anggota kelompok memberikan respon yang menyimpang dari kehendak kelompok, maka perilaku konformitas dapat menurun. Menurut Allen dan Wilder (dalam Worchel dan Cooper, 1983), hal tersebut teijadi karena ketidakbulatan suara yang ada, membuat anggota kelompok harus menginterpretasikan kembali situasi yang ada, dan bagaimana anggota kelompok memberikan reaksi terhadap anggota kelompoknya yang menyimpang juga berpengaruh terhadap perilaku konformitas.

Rakhmat (2000) mengatakan bahwa kohesivitas juga merupakan salah satu

yang mempengaruhi konformitas. Semakin kohesif suatu kelompok, maka

semakin besar kemungkinan teijadinya konformitas. Begitu juga sebaliknya pada

kelompok yang memiliki kohesivitas rendah akan mengakibatkan tingkat

konformitas yang rendah pula. Pendapat ini sekaligus menjelaskan mengapa

kebanyakan orang lebih suka menerima pengaruh sosial dari teman atau orang

yang mereka senangi dan kagumi ( Handyani 2000). Secara psikologis perilaku konformitas individu terhadap kelompok tidak menunjukkan keadaan yang homogen pada tiap individu. Penelitian yang dilakukan oleh Asch (dalam Riyadl,1993), menunjukkan bahwa subjek yang tunduk terhadap tuntutan kelompok antara lain memiliki kondisi sebagai berikut:

  1. Distorsi persepsi, beberapa subjek pada kondisi ini benar-benar tunduk dan patuh dengan kelompok tanpa menyadari kalau persepsi mereka telah diselewengkan secara sengaja oleh mayoritas kelompok.
  2. Distorsi penilaian, subjek merasa ragu-ragu dengan estimasinya terhadap objek, mereka merasa kurang yakin dengan penilaiannya sendiri dan adanya kecenderungan perasaan untuk mengikuti kelompok.
  3. Distorsi tindakan. Pada kondisi ini subjek tidak mengalami modifikasi persepsi dan juga tickk menganggap diri mereka salah. Mereka tunduk dengan kemauan kelompok karena merasa adanya desakan agar tidak berbeda dengan kelompok dan memandang estimasinya sendiri.

 

  1. Konformitas pada Remaja

Melemahnya pengaruh orang tua pada remaja semata-mata timbul karena adanya keinginan remaja untuk mandiri. Masa remaja adalah masa yang unik sebab pada masa ini remaja tidak bisa lagi dikatakan sebagai anak-anak, akan tetapi remaja juga belum bisa dikatakan sebagi orang dewasa (Calon dalam Monks dkk, 1994). Masa ini sering juga disebut dengan istilah masa transisi atau masa peralihan sebab adanya perubahan dari masa anak-anak menuju masa remaja dan peralihan ini bukan sekedar peralihan biasa namun sebuah periode yang Khusus dalam perkembangan manusia.

Konformitas pada remaja ditandai dengan munculnya tendensi untuk

menyesuaikan, menerima dan melakukan suatu pola yang berlaku dalam

kelompok. Penelitian Mascovici dkk (dalam Hewstone dkk, 1996) menemukan

bahwa tidak semua orang akan tunduk dan patuh pada tekanan kelompok. Lebih

lanjut Cialdini dkk (dalam Baron dan Byrne, 1997) memperoleh hasil bahwa

tingkatan konformitas pada remaja berbeda pada setiap masalah yang dihadapi

oleh remaja. Konsistensi adalah salah satu faktor yang diyakini oleh banyak

peneliti sebagai penyebab teijadinya perbedaan tingkat konformitas pada remaja.

Nemej dan Mugny (dalam Hewstone dkk, 1996), menerangkan bahwa konsistensi

terhadap suatu hal, pendapat atau keyakinan akan semakin memperkuat posisi

perilaku dan keyakinan remaja untuk tidak tunduk dan patuh pada kelompok

mayoritas. Bahkan pada kondisi tertentu konsistensi dibutuhkan agar individu

sebagai kelompok minoritas dapat berpengaruh dalam lingkungan mayoritas

dalam kelompok

Atribut yang mencolok pada remaja jika dibanding tahap perkembangan lain

adalah perilaku konformitas. Sifat remaja yang suka mencoba hal-hal baru,

keadaan yang kondusif, keinginan untuk berkelompok serta tidak stabi’.nya

pendirian akan mudah bagi terciptanya konformitas pada remaja. Tetapi tidak

semua remaja memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap pengaruh

konformitas tersebut, seperti dijelaskan oleh Lefcourt (dalam Monks dkk, 1994),

yang menyatakan bahwa remaja dari kelas sosial yang rendah memiliki

kecenderungan yang lebih besar untuk bersikap konformistis dengan

kelompoknya. Dan sebaliknya remaja dari kelas sosial yan tinggi memilik tingkat

konformitas yang lebih rendah.

 

 

 

 

KAITAN ANTAR VARIABEL

Kepercayaan diri (self esteem) dapat mempengaruhi bagaiimana cara seseorang berinteraksi dalam lingkungan dan gaya hidupnya, salah satu yang mempengaruhi tingkat kepercayaan diri (self esteem) adalah tingkat konformitas, bagaimana seseorang berinteraksi dalam kelompok, dalam hal ini, terkait hubungan antara tinggi atau rendahnya tingkat kepercayaan diri dengan hubungan dengan tinggi atau rendahnya tingkat konformitas seseorang.

 

HIPOTESIS

H 1 : Ada adanya pengaruh Tingkat Kepercayaan diri (Self Esteem) dengan Tingkat Konformitas