Hubungan Antara Self Esteem Dengan Lifestyling Dalam Konteks Penggunaan Barang KW Pada Kalangan Dewasa Awal

 

 

 

 

Tugas untuk melengkapi Ujian Tengah Semester

L0374-Metode Penulisan Imiah dan Proposal (MPIP)

 

 

 

Disusun Oleh :

 

 

Milda Yunita S                     1601221471

 

Kelas : LE64

 

 

 

 

BINA NUSANTARA UNIVERSITY

DEPARTMENT OF PSYCHOLOGY

APRIL 2015

 

BAB I

PENDAHULUAN

milda

1.1 Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri manusia adalah individu yang tidak terlepas dari berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya. Berawal dari suatu keinginan maka akan terciptanya sebuah kebutuhan yang beraneka ragam. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan ini diantaranya physiological needs, need for self security, need for love and belongingness, need for self esteem, need for self actualization (Feist & Feist, 2013)

Self esteem (harga diri) menurut Gilmore (dalam Akhmad Sudrajat, n.d.) mengemukakan bahwa : “ … self esteem is a personal judgement of worthiness that is personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself. Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sedangkan menurut sumber lain self esteem adalah penilaian, baik positif atau negatif, individu terhadap diri sendiri. Tingginya self-esteem merujuk pada tingginya estimasi individu atas nilai, kemampuan, dan kepercayaan yang dimilikinya. Sedangkan self-esteem yang rendah melibatkan penilaian yang buruk akan pengalaman masa lalu dan pengharapan yang rendah bagi pencapaian masa depan (Armando, n.d.).

Untuk memenuhi kebutuhan akan self esteem dapat ditempuh dari berbagai cara, salah satunya dengan melakukan lifestyle. Menurut (Kotler dalam Susanto,2013) gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dapat dituangkan dalam aktivitas atau kegiatan sehari-hari melalui minat dan keinginan seseorang dalam beropini maupun berperilaku. Lifestyle dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan manusia, baik dari segi kesehatan, sosial ekonomi, khususnya dalam konteks konsumsi secara simbolis guna menaikkan standar hidup yang disebut dengan lifestyling (Gerkey, 2000), artinya konsumsi sebuah produk dilakukan secara tidak langsung untuk memenuhi tujuan lainnya dari sekedar pembelian barang. Hal tersebut sering ditemukan dalam pembelian barang sisa ekspor, barang bekas, atau barang asli tetapi palsu (Eastspring Investments, 2014). Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan artikel yang menyatakan bahwa “Tas dengan merek terkenal biasanya akan menaikkan harga diri dan status seseorang. Ketika anda mengenakan tas bermerek dan berharga mahal, tentu semua orang akan melihat tas anda, dan menganggap anda sebagai kaum wanita menengah ke atas” (lihat website http://tokotasbranded.com/tas-wanita-branded-terbaru/). Tidak hanya itu, seperti salah satu kasus (dikutip dalam m.kompasiana.com) dimana, seorang wanita menyatakan karena berawal dari sebuah kebutuhan untuk memenuhi gaya hidupnya ia lebih memilih menggunakan “tas KW” begitu sebutan untuk tas tiruan dengan branded terkenal. Karena dengan begitu individu percaya dapat meningkatkan sel-esteem yang dimiliki. Dengan kita membeli barang asli itu artinya kita menghargai diri kita sendiri.

Ditinjau dari kualitas sebuah produk, produk dibagi menjadi beberapa jenis antara lain bermerek (branded), original, OEM, KW. Berdasakan survei terbatas Eastspring Investments (2014) produk bermerek sering diasosiasikan dengan, tahan lama dengan persentase sebanyak 17%, harga mahal dengan persentase sebanyak 20%, dan kualitas unggul dengan persentase sebanyak 63%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kualitas unggul merupakan karakteristik yang paling berperan penting dalam menentukan branding dari satu produk. Selain itu, barang bermerek kadang sering diasosiasikan dengan barang mewah meskipun tidak selamanya begitu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, barang mewah adalah barang yang mahal harganya, bukan merupakan kebutuhan pokok, melainkan untuk kemegahan, kebanggaan, kecantikan, dan kesenangan. Pada saat ini banyak sekali brand-brand terkenal dari seluruh dunia dengan kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, setiap produk branded dapat dibandrol sangat mahal hanya untuk satu produk saja. Contohnya brand terkenal misalnya untuk produk jam tangan seperti Guess (2.989.000), Fossil (2.286.000), Alexandre Christie (2.584.000) (lihat website lazada.co.id). Sedangkan untuk produk tas seperti Hermes (US$ 120,000 / Rp 1,3 miliar), Louis Vuitton (US$ 42,000 / Rp 477 juta), Chanel (US$ 261,000 / Rp 2,9 miliar) (lihat website http://www.wowmenariknya.com/2013/11/10-tas-wanita-termahal-di-dunia.html)., dan masih banyak lagi brand-brand terkenal lainnya. Barang-barang branded ini dapat kita peroleh hanya saja dengan harga puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk satu benda saja.

Di sisi lain, Produk Original merupakan produk asli atau resmi yang pembuatannya dari pabriknya langsung dengan standar-standar yang dimiliki (lihat website http://www.thecrowdvoice.com/post/pengertian-ori-oem-kw-super-kw-1-dst-4752412.html). Sementara OEM (Original Equipment Manucturer) merupakan produk yang memiliki kualitas setara dengan produk original, hanya saja produk OEM diproduksi oleh produsen rekanan dari pihak produsen utama.

Istilah produk KW diambil dari kata “kualitas” dengan cara baca “kwalitas” oleh karena itu hingga saat ini penggunaan kata-kata “KW” untuk barang palsu. Produk KW merupakan sebuah produk yang menggunakan brand-brand hingga simbol-simbol ternama menyerupai barang originalnya namun bukan original atau asli dari produsen utamanya lalu diperjualbelikan di pasaran luas. Seperti hasil penelusuran yang dilansir dalam laman wollipop.com, secara umum produk KW memiliki tujuh macam jenis diantaranya, KW3, KW2, KW1, KW Semi Super, KW Super Premium, KW Semi Original, KW Original contohnya dalam produk tas. Dalam hal ini yang menjadi fokus peneliti adalah produk KW, dikarenakan saat ini penggunaan produk KW marak digunakan di Indonesia khususnya Jakarta.

Seperti yang di kutip dalam hipwee.com dimana, “perdagangan barang bajakan dan merek palsu juga marak. Bahkan, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara dengan pelanggaran hak cipta terburuk oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat. Tas dengan merek palsu pun dengan mudah bisa masuk ke dalam pusat perbelanjaan besar”. (lihat dalam http://www.hipwee.com/feature/kenapa-memakai-barang-kw-itu-adalah-kesalahan-fashion-terbesar/). Selain itu menurut Eastspring Investments (2014), “ hasil survei Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) 2014 memperkirakan kerugian perekonomian (Produk Domestik Bruto–PDB) akibat barang palsu mencapai Rp 65,1 triliun. Angka tersebut meningkat dari survei di 2010 yang sebesar Rp 43,2 triliun”. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa produksi barang palsu (KW) di Indonesia, khusunya Jakarta meningkat drastis, hal ini tentunya ditandai oleh permintaan pasar yang juga meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, penulis memfokuskan penelitian pada barang KW.

Pembelian produk dengan berbagai jenis (branded, original, maupun KW) sangat erat kaitannya dengan pembentukkan identitas diri atau status sosial dikalangan masyarakat. Artinya, secara tidak langsung komunitas sosial membentuk standar tertentu yang kemudian diikuti oleh masyarakat atau dalam hal ini konsumen. Dimana, berdasarkan hasil survey terbatas Eastspring Investments, terdapat beberapa sumber pengaruh pembelian sebuah produk diantaranya, diri sendiri (3%), keluarga (4%), pergaulan (41%), media (52%). Dalam hal ini, pergaulan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar dalam seseorang mengkonsumsi produk dengan karakteristik tertentu. Masa dewasa awal merupakan tahap dimana seseorang membangun hubungan interpersonal yang lebih dekat dan intim. Tidak hanya itu, namun pemenuhan diri dalam berbagai aspek termasuk dari segi ekonomi, prestasi, bahkan harga diri, merupakan beberapa pencapaian yang sangat dibutuhkan dalam tahap dewasa awal, yang dalam hal ini menjadi fokus peneliti.

Pengkonsumsian produk kw marak digunakan oleh kalangan usia produktif. Dimana usia produktif merupakan salah satu karakteristik dalam dewasa awal dengan rentan usia sekitar 18 sampai 25 tahun (Arnett,2006,2007 dalam Santrock, 2012). Beberapa ahli menyatakan bahwa pada masa dewasa awal, idealisme yang terdapat pada tahap formal operasional mengalami kemunduran pada setiap individu, yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis (Labouvie-Vief, 1986 dalam Santrock, 2012). Hal ini berarti tahap idealisme yang dimiliki individu pada masa dewasa awal memiliki penurunan dengan sebagai contoh penggunaan produk-produk kw. Dimana individu sudah kurang mementingkan idealisme dalam menggunakan produk, dengan tidak mengindahkan sebuah produk tersebut apakah bermerek atau original.

Berdasarkan fenomena diatas, dapat dilihat bahwa lifestyling pada dewasa awal memiliki pengaruh dalam penggunaan produk kw. Namun, bagaimanakah kondisi self esteem setiap individu yang dalam hal ini menggunakan produk-produk kw

 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada fenomena di atas dapat disusun sebuah rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara self esteem dengan lifestyling dalam konteks penggunaan barang kw pada kalangan dewasa awal ?

 

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dan rumusan permasalahan, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Hubungan Antara Self Esteem Dengan Lifestyling Dalam Konteks Penggunaan Barang KW Pada Kalangan Dewasa Awal”

 

 

 

1.4 Manfaat Penelitian

            Adapun serangkaian manfaat yang ingin di capai pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

 

  1. Manfaat teoritis
  2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial, yang berkaitan dengan hubungan antara self esteem dengan lifestyling dalam konteks penggunaan barang kw pada kalangan dewasa awal.
  3. Manfaat Praktis
  4. Manfaat bagi peneliti yakni dapat engetahui hubungan antara self esteem dengan lifestyling dalam konteks penggunaan barang kw pada kalangan dewasa awal.
  5. Manfaat bagi peneliti lain dapat dijadikan bahan referensi dalam melakukan kajian atau penelitian dengan pokok pembahasan yang serupa atau sama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

                                         TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1 Pengertian Self-Esteem

Self-esteem adalah harga diri atau penghargaan seseorang terhadap diri sendiri termasuk self-respect, rasa percaya diri, dan segala kemampuan yang ada pada dirinya sendiri atau keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri (Santrock, 2011). Dengan kata lain self-esteem merujuk kepada seluruh penilaian positif seorang individu terhadap dirinya sendiri. Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Sedangkan dalam hierarki need menurut Maslow kebutuhan terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan akan cinta dan keberadaan, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan aktualisasi diri. Namun pada kali ini yang menjadi fokus penelitian adalah kebutuhan akan penghargaan.

Setelah setiap individu telah memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka tentunya akan mengejar kebutuhan akan penghargaan, yang mencakup kepercayaan diri, kemampuan, serta pengetahuan yang orang lain hargai tinggi. Maslow (1970) dalam Feist&Feist 2013 mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan, yakni reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi akan rasa gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain. sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri didasari oleh lebih dari sekedar reputasi maupun gengsi. Harga diri menggambarkan sebuah “keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan, kecukupan, penguasaan dan kemampuan, kepercayaan diri di hadapan dunia. Dengan kata lain, harga diri didasari oleh kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini dari orang lain.

Menurut Coopersmith,1967 (dalam Henggaryadi, 2012) self-esteem adalah sikap evaluatif terhadap diri sendiri, self-esteem mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan mengindikasi keyakinan individu sebagai seorang yang mampu, signifikan, sukses, berhasil, serta berharga. Sehingga kebutuhan harga diri itu sendiri adalah suatu kebutuhan individu untuk memperoleh kompetisi panghormatan, serta penghargaan dalam diri, prestisie, popularitas status, maupun keturunan.

Seseorang yang memiliki self-esteem yang rendah akan mengganggap dirinya tidak akan mampu bekerja dengan performa yang dimilikinya secara baik, serta akan berusaha untuk menghindari rasa malu dan penolakan akan lingkungan. Sedangkan, seseorang yang memiliki sel-esteem tinggi mempunyai harapan yang tinggi pula akan kesuksesan dengan berani mengambil risiko dan ingin menjadi pusat perhatian. Terdapat dua jenis harga diri yakni menghargai diri sendiri dan mendapat penghargaan dari orang lain (Kristanto, 2011).

 

2.1.1 Aspek Self-Esteem

Menurut Maslow (Rizeki, 2006: 9 dalam Kristanto,2011), kebutuhan harga diri dapat diukur dengan skala kebutuhan harga diri yang disusun berdasarkan aspek-aspek kebutuhan harga diri yaitu aspek menghargai diri sendiri (selfrespect), dan aspek penghargaan dari orang lain (respect from others).

1) Self respect, merupakan penghargaan atau penghormatan yang dilakukan oleh setiap individu kepada dirinya sendiri, hal ini berkatian dengan nilai-nilai kebanggaan yang ingin dimiliki oleh individu tersebut.

2) Respect from others. Merupakan sebuah keinginan atau harapan untuk mendapatkan penghormatan atau pengakuan dari orang lain.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-esteem

Self-esteem dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh beberapa faktor (Monks 2004 dalam Hermawati, 2011) :

  1. Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga yang harmonis dan pemberian kesempatan pada anak untuk aktif, dapat mempengaruhi self-esteem yang baik pula pada individu.

  1. Lingkungan social

Lingkungan social juga mempengaruhi pembentukan self-esteem, keadaan lingkungan social yang mendukung serta menerima keberadaan individu akan meningkatkan self-esteem.

  1. Faktor psikologis

Self-esteem akan mengarahkan individu dalam menentukan identitasnya pada saat memasuki kehidupan bermasyarakat.

  1. Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi perbebedaan pola pikir, perasaan, dan perilaku antara perempuan dan laki-laki.

2.1.3 Komponen Self-esteem

Perasaan-perasaan yang membentuk komponen harga diri menurut Felker, 1974 (dalam Henggaryadi, 2012) adalah sebagai berikut :

  1. Perasaan Diterima (feeling of belonging)

Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan bahwa dirinya diterima serta akan dihargai oleh kelompoknya. Dengan adanya komponen ini maka individu dapat menerima diri. Ada dua hal penting dalam arti penerimaan diri tersebut, pertama adanya perasaan puas terhadap apa yang telah dimiliki; kedua, adanya pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya.

  1. Perasaan Mampu (feeling of competence)

Perasaan yang dimiliki individu pada saat dirinya mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan.

  1. Perasaan Berharga (feeling of worth)

Perasaan yang sering muncul dari pernyataan yang sifatnya pribadi seperti: pandai, baik, perasaan harga diri menyatakan (menilai) positif seseorang atau menghormati diri. Dengan kata lain, sejauh mana individu mengakui nilai-nilainya sebagai manusia

Dengan demikian dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self esteem adalah penilaian positif pada diri sendiri, yang menjadi kebutuhan manusia, tidak hanya dari diri sendiri, namun kebutuhan akan penghargaan dari orang lain atau evaluasi global terhadap diri seorang remaja. Sehingga, dapat diartikan bahwa self-esteem dapat diukur dari sejauh mana individu bisa menghargai dan menerima diri sendiri dalam berbagai keadaan baik melalui evaluasi lingkungan keluarga, social, maupun faktor psikologis yang mempengaruhi self-esteem.

 

2.2 Pengertian Lifestyle

Menurut Kotler (dalam Susanto, 2013) gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dapat dituangkan dalam aktivitas atau kegiatan sehari-hari melalui minat dan keinginan seseorang dalam beropini maupun berperilaku. Lifestyle dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan manusia, baik dari segi kesehatan, sosial ekonomi, khususnya dalam konteks perbelanjaan. Adapun lifestyle dalam konteks perbelanjaan (Lifestyle shopping) yang berfokus pada budaya konsumsi, dan dampaknya pada individu dan masyarakat urban (Routledge,2005).

Gaya hidup (lifestyle) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam individu dan faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar individu misalnya lingkungan (Nugrahaeni dalam Susanto, 2013).

Adapun faktor internal yang mempengaruhi lifestyle antara lain :

  1. Sikap
  2. Pengalaman dan pengamatan
  3. Kepribadian
  4. Motif
  5. Kosep diri
  6. Persepsi

Selain itu adapun faktor eksternal yang mempengaruhi lifestyle antara lain :

  1. Keluarga
  2. Kelompok referensi
  3. Kelas sosial
  4. Kebudayaan

2.3 Pengertian Lifestyling

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup (lifestyle) diatas khususnya faktor motif, persepsi, kelas sosial dan kebudayaan sangat berkontribusi dalam pembentukan pola konsumsi sebuah produk yang dilakukan secara tidak langsung untuk memenuhi tujuan lainnya dari sekedar pembelian barang. (Gerkey, 2000).

Masyarakat di Indonesia khususnya populasi muda cenderung mengadaptasi dan mengambil bagian dalam perkembangan modernisasi dengan cara membentuk lifestyling mereka sendiri. Lifestyling itu sendiri dapat dikaitkan ke dalam beberapa elemen diantaranya symbolic consumption and lifestyling, Lifestyle-Shopping, Education and lifestyling.

 

 

Symbolic consumption and lifestyling

Merupakan perilaku dan tindakan individu dalam memakai serta mengkonsumsi suatu produk secara tidak langsung dengan hanya mengkonsumsi makna simbolik dari suatu produk tersebut.

Lifestyle-Shopping

Merupakan ciri perilaku individu dimana dalam mengkonsumsi satu produk dengan memfokuskan pada fashion sebagai tujuan utama dalam hal modernisasi. Dengan kata lain lifestyle-shopping sebagian besar individu menginvestasikan penghasilan mereka untuk mengkonsumsi produk dengan brand position yang baik (branded).

Education and lifestyling

Dalam mengdefinisikan ‘modernisasi’ individu harus memiliki simbol modernitas masing-masing, dimana pendidikan merupakan salah satu ikon penting dalam satu perubahan modernisasi yang dimulai dari identitas bahasa, tingkat pendidikan, institusi akademik (i.e. lulusan universitas) serta sertifikat.

2.4 Definisi produk KW

Menurut Aaker (1991) merek merupakan nama atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo, atau cap) dengan membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh kompetitor, serta melindungi konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tanpa identik.

Menurut UU Merek No.15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah “tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi merek versi American Marketing Association. Merek didefinisikan sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merek adalah untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing. Berdasarkan kedua definisi ini, secara teknis apabila seorang pemasar membuat nama, logo atau simbol baru untuk sebuah produk baru, maka ia telah menciptakan sebuah merek tampak identik. (Tjahyadi, 2006).

 

Produk Original merupakan produk asli atau resmi yang pembuatannya dari pabriknya langsung dengan standar-standar yang dimiliki (lihat website http://www.thecrowdvoice.com/post/pengertian-ori-oem-kw-super-kw-1-dst-4752412.html). Sementara OEM (Original Equipment Manucturer) merupakan produk yang memiliki kualitas setara dengan produk original, hanya saja produk OEM diproduksi oleh produsen rekanan dari pihak produsen utama.

Istilah produk KW diambil dari kata “kualitas” dengan cara baca “kwalitas” oleh karena itu hingga saat ini penggunaan kata-kata “KW” untuk barang palsu. Produk KW merupakan sebuah produk yang menggunakan brand-brand hingga simbol-simbol ternama menyerupai barang originalnya namun bukan original atau asli dari produsen utamanya lalu diperjualbelikan di pasaran luas. Seperti hasil penelusuran yang dilansir dalam laman wollipop.com, secara umum produk KW memiliki tujuh macam jenis diantaranya, KW3, KW2, KW1, KW Semi Super, KW Super Premium, KW Semi Original, KW Original contohnya dalam produk tas. Dalam hal ini yang menjadi fokus peneliti adalah produk KW, dikarenakan saat ini penggunaan produk KW marak digunakan di Indonesia khususnya Jakarta.

 

2.5 Dewasa Awal

Dewasa awal merupakan individu dengan karakteristik usia produktif dengan rentang usia sekitar 18 sampai 25 tahun (Arnett,2006,2007 dalam Santrock, 2012). Beberapa ahli menyatakan bahwa pada masa dewasa awal, idealisme yang terdapat pada tahap formal operasional mengalami kemunduran pada setiap individu, yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis (labouvie-Vief, 1986 dalam Santrock, 2012).

 

 

 

 

 

 

  • Kerangka berpikir

                                                              

                         

Berdasarkan dari uraian bagan diatas dapat dilihat kerangka berpikir penulis dimulai dari kalangan dewasa awal. Dilihat dari aspek kognitif dewasa awal memiliki karakteristik yakni berada dalam kisaran usia produktif dengan rentang usia sekitar 18 sampai 25 tahun (Arnett,2006,2007 dalam Santrock, 2012). Beberapa ahli menyatakan bahwa pada masa dewasa awal, idealisme yang terdapat pada tahap formal operasional mengalami kemunduran pada setiap individu, yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis (labouvie-Vief, 1986 dalam Santrock, 2012). Dari karakteristik yang ditampilkan dapat dilihat pada rentang usia inilah individu memiliki kebutuhan penghargaan akan dirinya (sel-esteem). Self-esteem dapat dilihat dari cara seseorang dalam melakukan pemenuhan akan prestise pengakuan dari dirinya sendiri dan orang lain, yang dalam hal ini dapat ditemui dalam lifestyling. Seseorang artinya konsumsi sebuah produk yang dilakukan secara tidak langsung untuk memenuhi tujuan lainnya dari sekedar pembelian barang. Lifestyling dikaitan dalam ke dalam beberapa elemen diantaranya symbolic consumption and lifestyling, Lifestyle-Shopping, Education and lifestyling. Sehingga hal ini memicu meningkatnya fenomena penggunaan barang KW. Produk KW merupakan sebuah produk yang menggunakan brand-brand hingga simbol-simbol ternama menyerupai barang originalnya namun bukan original atau asli dari produsen utamanya lalu diperjualbelikan di pasaran luas.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini, yaitu :

Terdapat hubungan antara self esteem dan life styling dalam konteks penggunaan barang kw pada kalangan dewasa awal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, D.R., & Nukman, I., & Silviandari, I.A. (2013). Perilaku impulsive buying pada pembeli tas replika bermerek melalui online shop blackberry messenger.

Armando, S.M. (2008).Psikologi komunikasi. [on-line]. Available FTP: http://cai.elearning.gunadarma.ac.id/webbasedmedia/download.php%3Ffile%3Ddiri.pdf. Tanggal Akses: 4 Maret 2015

Hermawati, N. (2011). Hubungan antara self-esteem dengan konformitas mahasiswa psikologi yang pernah mengikuti organisasi . (Master’s thesis, Universitas Bina Nusantara)Retrieved from http://thesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2011-2-00003-PL 3.pdf

 

Huat, C.B. (n.d). Consumption in Asia: Lifestyle and Identities. Retrieved from https://www.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=OqmCAgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=lifestyling+solvay+gerke&ots=XQ0aw9j1vr&sig=hlZpWppJ1hKH0DRatiSjorQdfLk&redir_esc=y#v=onepage&q=lifestyling%20solvay%20gerke&f=false

 

Jess Feist, Gregory Feist, Tomi-Ann Roberts.  (2006).  Theories of personality.  6th Edition.  MGH.  New Jersey.   ISBN: 978-0314921437.

 

Kristanto, D. (2011). Pengaruh orientasi fashion, Money attitude dan sel-esteem terhadap perilaku pembelian impulsif pada remaja.

 

Ma’rif, N. (2014).Kenapa memakai barang kw itu kesalahan fashion terbesar?. [on-line]. Available FTP: http://www.hipwee.com/feature/kenapa-memakai-barang-kw-itu-adalah-kesalahan-fashion-terbesar/.

Randang, W. (2013). Kualitas produk, atribut produk dan ekuitas merek pengaruhnya terhadap keputusan pembelian minyak goreng. Jurnal EMBA 1 (3).

 

Santrock, J. W. (2011). Life span development (13th ed.). New York: McGraw-Hill.

 

Susanto, A.S. (2013). Membuat segmentasi berdasarkan lifestyle (gaya hidup). Jurnal   JIBEKA 7 (2).

Wilda, L. (2012). Jangan bangga dulu kalau cuma pak tas branded tapi kw. [on-line]. Available FTP: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/05/30/jangan-bangga-dulu-kalau-cuman-pake-tas-branded-tapi-kw-467103.html.

 

 

 

 

http://tokotasbranded.com/tas-wanita-branded-terbaru/

http://www.wowmenariknya.com/2013/11/10-tas-wanita-termahal-di-dunia.html (10 tas termahal di dunia)

http://www.thecrowdvoice.com/post/pengertian-ori-oem-kw-super-kw-1-dst-4752412.html/

PRUDENTIAL BELUM DIMASUKIN Eastspring Investment (Desember 2014)

Disusun oleh Valentina Widyastuti, Head of Corporate & Marketing Communication, Eastspring Investments Indonesia dan Rian Wisnu Murti, Head of USD Fixed Income, Eastspring Investments Indonesia)