PERAN INTIMACY DAN SUBJECTIVE WELL BEING TERHADAP KEPUTUSAN UNTUK BERPISAH PADA PASANGAN YANG MENJALANI LONG DISTANCE RELATIONSHIP

 

 

 

OLEH

HANNY HASYYATI AL HUSNA

1601259136

 

MATA KULIAH METODE PENELITIAN DAN PROPOSAL

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS HUMANIORA

BINUS UNIVERSITY

2015

 

DAFTAR ISI

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 3

1.1        Latar Belakang. 3

1.2        Rumusan Masalah. 6

1.3        Tujuan Penelitian. 7

1.4        Manfaat Penelitian. 7

1.4.1 Manfaat Teoritis. 7

1.4.2 Manfaat Praktis. 7

2.1 Intimacy. 8

2.1.1 Definisi Intimacy. 8

2.1.2 Intimate Relationship. 8

2.2 Subjective Well Being. 11

2.2.1 Definisi Subjective Well Being. 11

2.2.2 Komponen Subjective Well Being. 12

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Subjective Well Being. 13

2.3 Long Distance Relationship. 14

2.3.1 Definisi Long Disatance Relationship. 14

2.4 Kerangka Berpikir. 15

2.5 Hipotesis. 16

DAFTAR PUSTAKA.. 17

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1              Latar Belakang

hanny

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi antara satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, setiap individu akan membentuk sebuah hubungan agar tercipta sebuah interaksi dan dapat bertahan dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang terjadi dalam kehidupan, individu membangun beberapa jenis hubungan, misalnya hubungan keluarga, hubungan pertemanan, persahabatan, dan hubungan romantis dengan lawan jenis yang dapat dikatakan sebagai pacaran, serta jenjang hubugan selanjutnya yaitu pernikahan. Banyak hal yang terlibat jika seseorang membentuk sebuah hubungan dengan orang lain, contohnya faktor jenis kelamin, usia, tingkat sosial, dan tidak lupa melibatkan emosi. Menurut Erikson (dalam the psychlogy book, 2012) individu membangun hubungan yang lebih akrab dengan orang lain dan memulai pengalaman tentang cinta secara dewasa terjadi pada usia sekitar 18 – 30 tahun atau pada usia dewasa muda. Pada usia dewasa muda ini ditandai dengan krisis psikoemosional, yang menurut Erikson ada pada tahap intimacy vs isolation, dimana sebagian besar individu pada masa ini membangun hubungan romantis dan lebih intim dengan lawan jenisnya. Sedangkan menurut Papalia et al (2007) usia dewasa muda dimulai pada usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun, dan pada masa ini individu memiliki cinta yang dewasa yang berarti memiliki komitmen, hasrat seksual, kerjasama, dan kompetensi sekaligus sahabat (Feist & Feist, 2008).

Sebuah hubungan dibangun pastinya di mulai dengan kesepakatan untuk bersama, begitu juga dengan sebuah keputusan untuk berpisah. Dalam menjalani hubungan, baik pacaran atau menikah terkadang tidak selalu berjalan dengan baik, seringkali hubungan cinta itu kandas. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah pasangan yang memutuskan untuk berpisah karena terbentur masalah jarak oleh pasangannya. Hal ini biasanya terlihat diawali dengan kecemasan-kecemasan yang timbul dari diri sendiri, komunikasi antar pasangan, kepercayaan antar pasangan, sampai masalah intensitas pertemuan yang menjadi salah satu penyebab utama perpisahan itu terjadi.

Dalam berpacaran atau menikah ada dua jenis hubungan yang dapat terjadi berdasarkan jarak, yaitu Geographically Close Relationships dan Long Distance Relationships. Geographically Close Relationship dikenal sebagai sebuah hubungan romantis yang kedua belah pihaknya berada pada lokasi yang sama atau berdekatan. Sedangkan Long Distance Relationship, merupakan hubungan romantis yang kedua belah pihaknya terpisah secara geografis atau yang sering disebut hubungan jarak jauh (Pistole, Roberts & Mosko, 2010). Holt dan Stone (dalam Khoman, 2010) menggunakan faktor waktu dan jarak untuk mengategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran atau pernikahan jarak jauh. Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan ketiga faktor tersebut. Penelitian lainnya menggunakan definisi berdasarkan persepsi partisipan terhadap hubungan tersebut (Dellman-Jenkins dkk, 1994). Definisi yang berbeda-beda ini menandakan bahwa banyak faktor yang berperan dalam menentukan apakah suatu hubungan termasuk hubungan jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis hubungan jarak jauh (Skinner, 2005).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Titi Setiani (2011) mengungkapkan salah satu hal yang dapat mempengaruhi terbangunnya sebuah hubungan, yaitu jarak (proximity). Kedekatan atau jarak dapat mempengaruhi tingkat kedekatan hubungan interpersonal. Meningkatnya intensitas kedekatan fisik dapat membuat seseorang lebih tertarik dan semakin dekat pada orang lain. Sedangkan hubungan jarak jauh atau LDR memiliki kelemahan keterpisahan fisik antara keduanya (DeVito, 2007). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yudistriana, dkk (2010) dalam penelitiannya mengenai intimasi dalam pria dewasa yang memiliki hubungan jarak jauh, bahwa keterpisahan fisik yang terdapat dalam hubungan percintaan jarak jauh berpotensi menimbulkan perubahan dalam komponen cinta yang harus dipenuhi dalam suatu hubungan. Dalam sebuah hubungan jarak jauh atau LDR individu akan berpotensi mengalami konflik dalam pemenuhan hubungan akan keintiman.

Berpacaran atau menikah pastinya melibatkan emosi manusia, Menurut Paul Kleiman (dalam psych,2012) ada sebuah emosi yang kompleks dalam diri manusia yang dikatakan dengan cinta. Tidak hanya kompleks, cinta juga dikatakan sangat mungkin muncul dan salah satu emosi pusat yang ada pada tiap individu. Emosi ini juga memiliki pengaruh yang besar dalam sebuah hubungan antar individu. Robert Sternbegrs (2004) memiliki sebuah teori “triangular theory of love” yang membagi tingkatan cinta menjadi tiga bagian : intimacy, passion, dan commitment. Kelekatan (intimacy) menjelaskan adanya kedekatan antara satu sama lain, perasaan cinta, dan rasa berbagi antar satu sama lain. Passion menjabarkan tentang perasaan gairah seksual (sexual arousal) dan daya tarik (attraction), euphoria. Hal ini yang dapat mendorong dua orang untuk bersama-sama. Ketiga, komitmen (commitment) yaitu keinginan untuk tetap setia kepada orang lain dan bertahan dalam hubungan jangka panjang. Menurut Erikson (Santrock,2002) keterbukaan diri (self disclosure) dan berbagi pemikirian-pemikirian personal merupakan tanda keintiman atau kelekatan. Dalam sebuah hubungan, kelekatan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh banyak pasangan, akan berbeda kondisinya antara pasangan yang menjalani hubungan jarak dekat dengan pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship).

Menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship) bukanlah hal yang mudah untuk di jalankan, ditambah lagi apabila seseorang yang menjalani hubungan tersebut kurang memiliki rasa kesejahteraan subjektif yang baik pada dirinya. Kesejahteraan subjektif bagi pasangan merupakan hal yang penting dalam meciptakan hubungan yang harmonis. Subjective well being (SWB) menurut Russell (2008) adalah persepsi manusia atau pandangan subjektif mereka terhadap kehidupannya. Sedangkan Veenhoven (dalam Suh, et al.,1999) mendefinisikan subjective well being adalah derajat penilaian individu terhadap kualitas hidupnya secara menyeluruh. Menurut beberapa tokoh psikologi SWB merupakan istilah ilmiah dari happines (kebahagiaan). Diener et al (2003) mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai kepuasan (baik aspek umum, maupun aspek spesifik), afek positif maupun afek negatif, yang ditinjau dari dirinya sendiri bukan penilaian oleh para ahli. Subjective well being tidak begitu saja ada pada pasangan yang menjalani long distance relationship, melainkan sebagai sebuah proses, pemahaman, dan penerimaan diri oleh setiap individu, dalam hal ini yang menjadi acuan adalah pasangan yang menjalani long distance relationship. Semakin baik pasangan yang menjalani LDR dalam memahami dan menerima hubungannya dalam situasi dan kondisi apapun, maka semakin tinggi juga kesejahteraan subjektif pada pasangan tersebut (Melinda, 2013).

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakan peran intimacy dan subjective well being terhadap keputusan untuk berpisah pada pasangan yang menjalani long distance relationship?

 

 

1.3  Tujuan Penelitian

 

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada peran intimacy dan subjective well being terhadap keputusan untuk berpisah pada pasangan yang menjalani long distance relationship.

1.4  Manfaat Penelitian

 

Dari tujuan yang ingin dicapai, tentunya diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teori maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan peneliti sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

 

Dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan manfaat sehingga dapat memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi klinis. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan peran intimacy dan subjective well being pada pasangan yang menjalani long distance relationship dalam mengambil keputusan untuk berpisah.

 

1.4.2 Manfaat Praktis

 

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pasangan yang menjalani long distance relationship , sehingga dapat membangun hubungan yang harmonis dengan cara meningkatkan subjective well being dan intimacy antara individu dalam hubungan tersebut sehingga mengurangi keputusan untuk berpisah.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intimacy

2.1.1 Definisi Intimacy

 

Menurut Erikson (dalam Valentini, & Nisfiannoor, 2006) intimacy sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan juga berperan penting dalam menjalin dan meningkatkan keintiman dalam menjalin hubungan yang romatis. Hal ini didukung oleh pernyataan Strong dan Devault (1989) yang mengemukakan bahwa intimacy dan komunikasi saling berkaitan dan pasangan yang mengalami kesulitan dalam komunikasi dikatakan tidak memiliki intimacy didalam hubungan mereka.

Intimacy atau keintiman juga dijelaskan sebagai perasaan dalam satu hubungan yang berkaitan dengan kedekatan diantara dua orang yang ditandai dengan interakasi verbal ataupun non verbal, keadaan mental, fisik, dan sosial ( Gustia Rahmi, 2014).

Menurut Stenberg (1998) intimacy adalah salah satu komponen yang dapat membangun cinta yang ideal dari dau hal penting lainnya yaitu komitmen dan passion. Sternberg (2006) menjelaskan intimacy adalah elemen emosional dalam suatu hubungan yang melibatkan pengungkapan diri (self-disclosure), yang akan menghasilkan suatu keterkaitan, kehangatan, dan kepercayaan. Sternberg (2006) juga menyatakan bahwa intimacy adalah kedekatan yang dirasakan oleh dua orang dan kekuatan yang mengikat mereka berdua untuk tetap bersama.

2.1.2 Intimate Relationship

 

Hubungan romantis antara individu dewasa muda berasal dari berbagi bentuk dan berbagai ukuran. Intimacy bersifat multi konsep dari banyak komponen (Lippert & Prager, 2001 ; Prager & Roberts, 2014 dalam Intimate Relationship 2008) . Dua peneliti ( Laurenceau et al., 2004 ; Reis & Patrick, 1996) dan laypeople (Marston et al., 2008 ; Monsour.,1992 ; Parks & Flyod, 1996) menyetujui bahwa intimate relationship berasal dari beberapa asosiasi kausal , setidaknya ada enam aspek yang mempengaruhi : pengetahuan , caring, interdependence, mutuality, kepercayaan, dan komitmen.

 

  1. Pengetahuan (Knowledge)

 

Sebuah hubungan dibentuk dari sebuah extensive personal, rasa nyaman, dan pengetahuan mengenai pasangan satu sama lain. Pasangan saling bertukar informasi mengenai sejarah dirinya, keinginan, perasaan, dan hal yang tidak mereka ceritakan kepada orang lain kecuali pada pasangannya tersebut. Pengetahuan ini secara tidak langsung akans selalu di dapatkan dengan melakukan sharing antara pasangan (intimate relationship, 2008).

  1. Perhatian (Caring)

 

Dalam initimate relathionship juga terdapat aspek caring. Setiap pasangan sangat memerlukan rasa care atau perhatian satu sama lai. Prilaku caring antara satu sama lain dapat menigkatkan keintiman atau intimacy ketika individu tersebut percaya bahwa pasangannya dapat mengetahui, memahami, serta mengapresiasi dirinya (Reis & Gable, 2003).

 

  1. Rasa Saling Ketergantungan (Interdepedence)

 

Dalam menjalin sebuat intimate relationship timbulah sebuat rasa ketergantungan antar satu sama lain. Perlu diperhatikan hal yang dilakukan pasangan akan memiliki pengaruh bagi pasangannya. Dilihat dari kekuatan pengaruh, berapa lama hal itu dilakukan, bagaimana hal yang dilakukan tersebut dapat mempenaruhi prilaku pasangannya (Bescheid,Snyder, & Omoto, 2004)

 

  1. Hal Kebersamaan (Mutuality)

 

Ketika menjalani intimate relationship pasangan cenderung akan menggangap dirinya sebagai “kita” bukan lagi menganggap dirinya sebagai dua orang individu yang sedang berdekatan, atau mereka tidak lagi menggap “aku” dan “dia” melainkan mereka memahami adanya kebersaan sebagai “kita” (Fitzsimons & Kay, 2004 ; Levinger & Snoek, 1972). Beberapa peneliti menggangpan dalam pasangan yang menjalani intimate raltionship hanya mengukur seberapa banyak hal yang dapat mereka lakukan bersama (Aron & Mashek 2004).

 

  1. Kepercayaan (Trust)

 

Aspek penting lainnya dalam membangun sebuah intimate relationship adalah kepercayaan. Membentuk sebuah kepercayaan sangatlah dibutuhkan toleransi yang tinggi sebagai perwujudan rasa adil dan saling menghormati antar pasangan satu sama lain ( Holmes, 1991). Ketika sebuah kepercayaan dalam hubungan hilang , biasanya individu akan selalu merasa cemas dalam hubungannya dan mengurangi rasa saling ketergantungan antara satu sama lain yang menjadi salah satu hal penting yang dapat memupuk rasa kedekatan antar pasangan (Jones, Crouch, & Scott, 1997)

 

  1. Komitmen

 

Dalam sebuah intimate relationship sangat dibutuhkan komitmen antar pasangan terhadap hubungan yang mereka jalani. Komitmen di perlukan dalam sebuah hubungan karena mencerminkan adanya sebuah harapan untuk selalu bersama tanpa batas waktu, hal ini tentunya memerlukan investasi seseorang akan waktu, tenaga, dan sumber daya untuk mewujudkan komitmen tersebut. Komitmen ini dapat meningkatkan keintiman antar pasangan apabila mereka menjalankan dengan baik antar satu sama lain (intimate relationship, 2008)

 

2.2 Subjective Well Being

 

Subjective well-being merupakan bagian dari happiness, istilah happines dan subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008). Ada peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang sama (Snyder, 2007), akan tetapi lebih banyak peneliti yang menggunakan istilah subjective well-being (Eid & Larsen, 2008).

2.2.1 Definisi Subjective Well Being

 

Subjective well being (SWB) menurut Russell (2008) adalah persepsi manusia atau pandangan subjektif mereka terhadap kehidupannya. Sedangkan Veenhoven (dalam Suh, et al.,1999) mendefinisikan subjective well being adalah derajat penilaian individu terhadap kualitas hidupnya secara menyeluruh, dapat diartikan subjective wellbeing merupakan tingkat di mana seseorang menilai kualitas kehidupannya sebagai sesuatu yang diharapkan dan merasakan emosi yang menyenangkan. Menurut beberapa tokoh psikologi SWB merupakan istilah ilmiah dari happines (kebahagiaan). Diener et al (2002) mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai kepuasan (baik aspek umum, maupun aspek spesifik), afek positif maupun afek negatif, yang ditinjau dari dirinya sendiri bukan penilaian oleh para ahli.

Menurut Ed Diener, Eunkook Suh, dan Shigehiro Oishi (1997), subjective well-being mengacu pada bagaimana orang mengevaluasi hidup mereka. Di dalamnya meliputi variabel-variabel seperti kepuasan dalam hidup dan kepuasan pernikahan, tidak adanya depresi dan kecemasan, serta adanya suasana hati (mood) dan emosi yang positif. Lebih lanjut disimpulkan oleh William C. Compton (2005), bahwa secara garis besar, indeks subjective well-being seseorang dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup.

2.2.2 Komponen Subjective Well Being

Terdapat tiga komponen utama dari subjective well-being, yaitu kepuasan, afek postif dan afek negatif (Diener, et al, 1997). Setiap komponennya memiliki sub-komponen masing-masing. Carr (2004) menjelaskan afek positif sebagai dimensi dimana terdapat perasaan yang nyaman dengan intensitas yang beragam. Afek positif dapat membuat orang lebih menikmati pekerjaan, dan hubungan dengan orang lain, dan sebaliknya, bahagia dalam pekerjaan dan percintaan meningkatkan afek positif. Sementara itu, rendahnya afek positif diasosiasikan dengan gangguan psikologis. Afek positif mendorong organisme untuk mendekatkannya pada situasi yang menyenangkan dan bermanfaat seperti makanan, tempat berlindung, dan mencari pasangan (Watson dkk, 1995 dalam Carr 2004). Afek positif dapat ditingkatkan dengan melakukan aktifitas fisik sehari-hari, tidur yang cukup, bersosialisasi dengan teman dekat dan bekerja keras untuk mencapai tujuan yang memiliki nilai (Carr, 2004).

Sedangkan afek negatif menjelaskan tentang perasaan tidak nyaman yang dirasakan seseorang dengan intensitas yag beragam. Dalam hal ini afek negatif berfungsi untuk menjauhkan organisme dari sesuatu yang berbahaya (Carr,2004). Kepuasan dapat menjabarkan hasil yang telah dicapai oleh individu. Kepuasan dapat terbagi menjadi kepuasan dalam berbagai bidang kehidupan seperti, rekreasi, cinta, pernikahan, persahbatan, dan lain sebagainya (Diener, et al, 1997).

 

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Subjective Well Being

 

Subjective Well Being (SWB) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Wilson (dalam Diener & Oishi,2005) menyatakan bahwa faktor demografis berkorelasi dengan subjective well being. Diener dan Oishi (2005) menyatakan bahwa sejauh mana faktor demografis tertentu dapat meningkatkan SWB tergantung dari nilai dan tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian dan kultur. Dalam beberapa faktor demografi yang ada memiliki pengaruh yang tidak begitu besar namun kemudian itulah yang dapat membedakan tingkat SWB seseorang. Faktor demografis membedakan antara orang yang sedang-sedang saja dalam merasakan kebahagiaan (tingkat SWB sedang) dan orang yang sangat bahagia (tingkat SWB tinggi).

Pendapatan, jenis kelamin, dan pernikahan menjadi sebagian faktor demografi yang turut berpengaruh pada tinggi rendahnya SWB seseorang. Pendapatan menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan seseorang dalam pekerjaan khususnya dan kehidupan pada umumnya. Besarnya pendapatan menjadi poin utama ditengah kebutuhan hidup yang terus meningkat dan gaya hidup konsumtif yang kian meningkat. Sehingga banyak orang yang berusaha untuk menyeimbangkan besarnya pendapatan dengan pengeluaran. Gaya hidup dan kebutuhan yang kian meningkat jika tidak berimbang dengan pendapatan yang diperoleh dapat memunculkan perasaan ketidakpuasan yang pada akhirnya membuat seseorang merasa tidak bahagia. Penghasilan sangat rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan yang memadai, oleh karena itu pendapatan yang layak dapat meningkatkan kualitas hidup pekerja dan keluarganya (Putri, 2009).

Selain pendapatan, faktor lain yang turut berperan pada tinggi rendahnya SWB adalah pernikahan. Dalam survey menunjukkan kebahagiaan yang lebih besar kepada orang-orang yang menikah dibandingkan dengan mereka yang belum menikah atau yang pernah menikah kemudian bercerai, atau ditinggal meninggal. Pernikahan dan kesejahteraan berkorelasi secara signifikan bahkan ketika usia dan pendapatan dikontrol. Diener (1998) menemukan bahwa pernikahan menawarkan manfaat lebih besar bagi laki-laki daripada perempuan dari segi emosi positif. Pernikahan juga menjadi pengalaman hidup yang signifikan pada 90% orang diseluruh dunia (Myers dalam Diener, et al., 2003). Banyak peneliti percaya bahwa pernikahan berfungsi sebagai penyangga terhadap kesulitan hidup dan menyediakan emosi dan dukungan ekonomi yang menghasilkan kondisi positif pada kesejahteraan. Individu yang telah menikah secara konsisten menunjukkan SWB yang lebih besar dari yang tidak pernah menikah dan individu yang sebelumnya pernah menikah kemudian bercerai atau ditinggal meninggal (Glen et al., dalam Oishi).

2.3 Long Distance Relationship

2.3.1 Definisi Long Disatance Relationship

 

Dalam berpacaran atau menikah ada dua jenis hubungan yang dapat terjadi berdasarkan jarak, yaitu Geographically Close Relationships dan Long Distance Relationships. Geographically Close Relationship dikenal sebagai sebuah hubungan romantis yang kedua belah pihaknya berada pada lokasi yang sama atau berdekatan. Sedangkan Long Distance Relationship, merupakan hubungan romantis yang kedua belah pihaknya terpisah secara geografis atau yang sering disebut hubungan jarak jauh (Pistole, Roberts & Mosko, 2010). Holt dan Stone (dalam Khoman, 2010) menggunakan faktor waktu dan jarak untuk mengategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran atau pernikahan jarak jauh. Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan ketiga faktor tersebut. Penelitian lainnya menggunakan definisi berdasarkan persepsi partisipan terhadap hubungan tersebut (Dellman-Jenkins dkk, 1994). Definisi yang berbeda-beda ini menandakan bahwa banyak faktor yang berperan dalam menentukan apakah suatu hubungan termasuk hubungan jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis hubungan jarak jauh (Skinner, 2005).

 

2.4 Kerangka Berpikir

 

Dalam kerangka berpikir ini dapat disimpulkan dua hal :

  1. Seseorang yang merasakan intimacy tinggi terhadap pasangannya akan di prediksikan memiliki tingkat yang rendah dalam keputusan untuk berpisah, karena pasangan ini sudah dapat memiliki rasa intim satu sama lain meskipun mereka berada pada jarak yang berjauhan.
  2. Seseorang yang memiliki intimacy rendah terhadap pasangannya akan di prediksikan memiliki tingkat keputusan yang lebih tinggi dengan pasangannya, karena pasangan ini memiliki kelekatan yang kurang dengan hubungan jarak jauhnya.
  3. Seseorang dengan subjective well being yang tinggi memiliki keputusan berpisah yang rendah, karena mereka merasa kesejahteraan dirinya sudah terpenuhi.
  4. Seseorang yang memiliki subjective well being rendah akan memiliki keputusan berpisah yang lebih tinggi, karena kesejahteraan dalam dirinya belum terpenuhi, kepuasan dan afeksi postifnya belum terpenuhi.

2.5 Hipotesis

 

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya peran intimacy dan subjective well being terhadap keputusan untuk berpisah pada pasangan yang menjalani long distance relationship.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Albuquerque, B. (2015, April 01). Happiness. Diambil kembali dari Positive Psychology UK: http://positivepsychology.org.uk

Catherine Collin, Nigel Benson, et all. (2012). The Psychology Book. New York: DK Publishing.

Frank.D.Fincham,Steven.R.H.Beach. (2010). Marriage in the New Millennium: A Decade in Review. Journal of Marriage and Family.

Gustiah, R. (2014). Hubungan Antara Intimacy Dengan Kepuasan Pernikahan Pada Silver Age.

Kristi, W. (2013). Has the Future of Marriage Arrived? A Contemporary Examination of Gender, Marriage, and Psychological Well-Being.

Marasabessy, R. (2012). Perbedaan Cinta Berdasarkan Teori Segitiga Cinta Sternberg Antara Wanita Dengan Pria Masa Dewasa Awal.

Melinda, R. (2013). Perbedaan Kesejahteraan Subjektif Dari Kebersamaan Pasangan Suami Istri Dalam Pernikahan.

Miller, Perlman, Brehm. (2008). Intimate Relationship Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies,Inc.

Ningsih, D. A. (2013). Subjective Well Being Ditinjau Dari Faktor Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan).

Pistole, M. C. (2015). Long-Distance Romantic Couple: An Attachment Theoritical Perspective.

Santrock, J. W. (2012). Life Span Development. New York: The McGraw-Hills Companies,Inc.

Sharon Manne, Hoda Badr. (2008). Intimacy and Reliationship Procesess in Couples Psychosocial Adaption to Cancer. American Cancer Society.