Alfina Janurtika Moniaga – 1601286055 – LB64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan gedget di era abad ini semakin membuat penggunanya mudah untuk bertukar informasi, dalam perkembangannya gedget juga membuat perusahaan elektronik seperti perusahaan telepon genggam semakin berinovasi dengan produk nya. Salah satu nya dengan membuat gadget handphone yang di lengkapi dengan kamera depan, dengan gedget tersebut terdapat suatu aktifitas baru yang berasal dari kamera dan perkembangan smartphone yang semakin berkembang, terdapat suatu fenomena yaitu selfie.

Fenomena selfie atau selfca (self camera) adalah singkatan dari self dan potrait dan self camera. Self artinya sendiri, sedangkan Potrait adalah Mengambil foto, jadi self potrait atau lebih dikenal dengan Footprint yaitu foto yang diambil oleh tangan sendiri tanpa dibantu oleh orang disekitarnya. Biasa nya orang yang telah melakukan selfie mengunggah gaya foto mereka ke dalam media sosial.Gaya Selfie ada bermacam macam, ada yang menggunakan Tongsis (Tongkat Narsis), yang paling banyak diterapkan adalah selfie dengan mengambil foto diri sendiri dengan tangan sendiri.Selfie biasanya dipakai untuk mengambil foto dengan pose setengah badan menggunakan kamera handphone, khususnya  yang memakai HP Android & IOS.

Selfiesendiri merupakan gambaran presentasi diri dimana bertujuan untuk menampilkan diri dengan cara-cara yang membuat kesan baik. Presentasi diri di sini maksudnya adalah bagaimana suatu individu menampilkan dirinya pada publik untuk membuat kesan yang baik, yang diperlukan karena untuk mengetahui identitas diri seseorang. Kesan baik yang biasa dimunculkan oleh pelaku selfie biasanya adalah mengambil selfie berkali-kali dengan berbagai macam gaya, menghabiskan waktu untuk mengedit foto supaya terlihat sempurna, mengunggah hasil selfie ke media sosial yang paling baik.

Menurutteman-teman saya kegiatan selfie meningkatkan kepercayaan diri mereka, bahkan terjadi suatu rutinitas. Ketika teman saya sudah lama tidak mengunggah foto selfie nya ke media sosial dia akan mencari-cari foto atau melakukan selfie agar dapat update foto selfie terbarunya. Salah satu artis remaja Olivia Jansen yang sedang diwawancara di infotainment“Aku suka banget selfie, apalagi sebagai public figure harus banyak sharing moment pada fans agar lebih dekat. Aku selfie sehari bisa sampai 30 kali,” kata Olivia Jansen di Jakarta, Senin (20/4/2015).Tanpa disadari perkembangan selfie tersebut menjadi aktifitas yang rutin dilakukan di berbagai macam kesempatan atau bahkan menciptakan moment sendiri. Kegiatan tersebut dilakukan bukan hanya untuk koleksi semata, namun juga memotivasi mereka sebagai ajang untuk mengunggah ke media sosial.

Mengunggah foto selfie kedalam media sosial sendiridapat dikatakan sebagai bentuk dari adanya rasa kepercayaan diri seseorang untuk menunjukan sisi dari diri nya kepada orang lain. Melakukan selfie hingga mengunggah nya ke media sosial biasanya banyak di lakukan oleh remaja-remaja putri.Di usia remaja sendiri dimana saat-saat mereka berekspresi berpikir secara abstrak apa yang ada di dalam kepala mereka. Selfie pada remaja dilakukan dalam berbagai macam kesempatan dan berbagai macam tujuan. Dapat dikatakan pula salah satu bentuk aktualisasi diri remaja tersebut melalui selfie.Secara tak langsung selfie sendiri memperlihatkan seberapa besar kepercayaan diri remaja.

Kepercayaan diri atau self esteem sendiri menurut Coopersmith (1967) self-esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima dan menolak, juga indikasi bersarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Lutan (2003) yang memaparkan bahwa self-esteem adalah penerimaan diri sendiri, oleh diri sendiri yang berkaitan dengan kita pantas, berharga, mampu dan berguna, tak peduli dengan apa yang sudah, sedang atau bakal terjadi. Tumbuhnya perasaan “aku bisa” dan “aku berharga” merupakan inti dari pengertian self-esteem.

Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan dampak negatif jika mereka tidak memiliki harga diri yang mantap. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan mereka akan memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, tampil dengan keyakinan diri (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya.

Self-esteem dalam bentuk selfie tersebut memotivasi mereka untuk menunggah foto di media sosial.Apa yang dipilih untuk melakukan dan bagaimana cara mereka melakukannya mungkin tergantung pada self-esteem. Semakin tinggi self esteem nya semakin besar motivasi mereka untuk mengunggah foto selfie nya tersebut. Motivasi dapat dipengaruhi beberapa faktor dalam remaja, salah satu nya kebutuhan dalam aktualisasi diri pada remaja.

Kebutuhan aktualisasi diri  merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.

Dari self esteem yang dimiliki oleh seorang remaja, mereka menunjukan dengan cara mengaktualisasikan diri mereka.Salah satu nya adalah dengan mengunggah foto-foto selfie nya di media sosial. Dari hal-hal tersebut terdapat suatu ketertaikan di sisi ranah psikologi, dan membuat penelitian tentang “pengaruh self esteem terhadap motivasi mengunggah foto di kalangan remaja putri jakarta barat”

 

 

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti dapat menuangkan perumusan masalah menjadi pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apakahself esteem berpengaruh terhadap motivasi mengunggahfoto selfie dikalangan remaja putri di daerah Jakarta Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di ungkapkan, tujuan dari penelitian masalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahuiseberapa besar tingkat self esteem terhadap motivasi mengungguh foto di kalangan remaja putri di Jakarta Barat.

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Harga Diri (self-esteem)

Santrock (1998) menyebutkan bahwa self-esteem adalah dimensi evaluasi secara keseluruhan mengenai diri. Self-esteem juga mengarah kepada self-worth atau self-image. Selanjutnya self-esteem dapat diartikan sebagai penghargaan diri. Penghargaan diri adalah kebutuhan manusiawi yang kuat. Kebutuhan manusiawi mendasar yang memberikan kontribusi sangat penting terhadap proses kehidupan yang sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat, karena penghargaan diri memiliki nilai bertahan hidup.

Sedangkan Coopersmith (dalam Lefrancois, 1986) menyatakan bahwa : “Self-esteem indicates the “extent to which the individual believes him self to be capable, significant, successful, and worthy“. In short, self-esteem is a personal judgement of worthiness that is expressed in attitudes the individual holds toward him self“. Self-esteem mengindikasikan kemampuan di mana individu percaya diri mampu, signifikan, sukses, dan berharga. Secara singkat self-esteem berarti suatu penilaian personal terhadap keberhargaan yang diekspresikan dalam sikap yang dipegang individu terhadap dirinya.

Rosenberg (1979) mendefinisikan selfesteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang baik dalam cara positif maupun negatif terhadap suatu objek khusus yaitu diri. Sedangkan menurut Alferd Adler (dalam Branden, 2005), setiap orang memulai dengan perasaan rendah diri, yang disebabkan, pertama, dengan membawa beberapa kelemahan fisikal atau “inferioritas organ“ kedunia ini. Kedua, dengan fakta bahwa semua orang lain (berarti, orang-orang dewasa atau saudara-saudara kandung) lebih besar dan kuat. Dengan kata lain, kutukannya adalah bahwa individu tidak dilahirkan sempurna sebagai orang dewasa yang matang.

Nathaniel Branden (2005) menyebutkan self-esteem adalah pengalaman bahwa kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup. Secara lebih spesifik, self-esteem adalah, pertama, keyakinan didalam kemampuan individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup. Kedua, keyakinaan di dalam hak individu untuk bahagia, perasaan berharga, layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan keinginan individu serta menikmati buah dari kerja kerasnya.

Beberapa ahli memaparkan self-esteem sebgai berikut : “self-esteem is an evaluative term. It refers to negative, positif, neutral, ambiguous judgment that one place on self concept“ (Frey & Carlock, 1984). Salah satu defenisi self-esteem yang paling luas dipublikasikan adalah diberikan didalam Toward A State of Esteem: The Final Report of the California Task Force to Promote Self and Personal and Social Responsibility: Selfesteem didefinisikan sebagai: Menghargai nilai diri dan arti pentingnya dan memiliki karakter yang bisa dipertanggung jawabkan kepada diri sendiri dan untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap orang lain. (Branden. 2005)

2.1.1 Komponen Self-esteem

Menurut Frey dan Carlock (1986) Selfesteem memiliki komponen-komponen. Ada dua komponen dalam self-esteem yang berasal dari dalam diri individu yakni:

  1. The sense of personal efficacy : yakni perasaan kompeten dalam diri individu sehubungan dengan realitas keberadaan dirinya.
  2. The sense personal worth : perasaan yang mencakup penerimaan diri dan penghargaan atau respek individu terhadap dirinya sendiri.

Sedangkan komponen-komponen selfesteem yang lain menurut Felker (dalam Sirait, 2002) terdapat 3 komponen self-esteem yang berasal dari perasaan terbentuknya self-esteem yaitu:

  1. Perasan disertakan (feeling of belonging). Yaitu perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainya.
  2. Perasaan mampu (feeling of competence). Yaitu perasan yang dimiliki individu pada saat dirinya mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan.
  3. Perasaan berharga (feeling worth). Yaitu perasaan apakah dia berharga atau tidak berharga, di mana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman individu. Perasaan ini umumnya muncul dalam pernyataan-pernyataan yang bersifat pribadi seperti : pandai, baik, cantik, lembut, dan lainlain.

Self-esteem sendiri mempunyai dua aspek yang saling berkaitan (dalam Nathaniel B, 2005) yakni :

  1. Perasaan bahwa diri efektif (Keefektifan diri). Berarti keyakinan dalam berfungsinya pemikiran, dalam kemampuan untuk berfikir, dalam proses dimana individu berfikir, dalam proses dimana individu menilai, memilih, memutuskan; keyakinan dalam kemampuan untuk memahami fakta-fakta yang berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan, kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif.
  2. Rasa harga diri (self respect). Berarti suatu sikap tegas untuk menuju hak pribadi untuk hidup dan bahagia; kenyamanan dalam menegaskan pemikiran, keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah warisan yang paling alami.

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Self-esteem

Pola asuh

Pembentukan diri seorang anak berangkat dari pengasuhan orang tua di rumah. Individu yang memiliki self-esteem yang tinggi memiliki orang tua yang supportif, menciptakan kehangatan, perhatian, mendorong anak memupuk standar prilaku yang tinggi, membimbing mereka dan membuat keputusan yang tepat (Coopersmith, 1967; Isberg et al, 1989; Lomborn et al., 1991 dalam Schafer, 2001).

Peers presure

Pengalaman anak dalam kelompoknya mempengaruhi bagaimana seharusnya bersikap dan mempersepsikan dirinya dan lingkungannya. Sejauh mana dapat mengembangkan keterampilan diri dan lingkungan sosial bersama teman dan pengalaman bersama teman lebih besar dari pada bersama keluarga, hal ini berpengaruh terhadap self-esteem (Thorne & Michaelieu, 1996 dalam Scaffer, 2001) Remaja merasakan betapa besar pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Jenis kelamin

Pengaruh jenis kelamin pada individu salah satunya pertumbuhan fisik yang diakibatkan masa pubertas. Di mana perempuan cenderung lebih memperhatikan perubahan fisiknya dan penerimaan temen sebaya. (Simon & Rosenberg, dalam Steinberg 2002).

Pola pikir

Dapat diketahui bahwa pola pikir seorang tersebut sangat berpengaruh dengan bagaimana seseorang memandang dirinya dalam hidup. Motivasi motivasi apa yang tersimpan dalam diri seseorang sangat mempengaruhi pola pikir seseorang yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan selfesteem nya.


 

Pengalaman masa lalu

Pengalam masa lalu seseorang sangat berpengaruh terhadap apa yang dijalani seseorang dimasa yang akan datang. Begitu juga dalam hal pembentukan self-esteem seseorang. Pengalaman masa lalu terutama trauma-trauma terdahulu menyebabkan seseorang mulai membentuk self-esteem yang sesuai dengan trauma dan pengalaman tersebut.

Status sosial

Status sosial seseorang dikatakan berpengaruh terhadap self-esteem seseorang dikarenakan biasanya anak atau remaja yang berasal dari keluarga denga tingkat ekonomi kebawah, dengan kata lain uang hanya cukup untuk makan. Akan memiliki self-esteem yang rendah jika dibandingkan dengan anak remaja dari kalangan menengah keatas.

Prestasi

Prestasi merupakan tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Bukan hanya dalam hal akademik namun juga dalam hal karir atau pekerjaan dan kehidupan sosial. Melalui prestasi orang-orang dapat melihat pencapaian yang telah dicapai.

Nilai dari keyakinan yang dianut

Nilai dari keyakinan yang dianut, di sini dimaksudkan bahwa, bagaimana seseorang memandang kepercayaan atau agamanya sebagai pegangan hidupnya.

2.1.3 Dimensi-Disimensi Self-Esteem

Coopersmith (dalam Lefrancois, 1986) mengatakan bahwa semua orang memberi perhatian yang besar terhadap dirinya. Perhatian terhadap diri sendiri tersebut, antara lain termasuk memberikan penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian ini dilakukan terhadap dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.

  1. Dimensi Internal Menurut Fitts (dalam Rusdi, 2002)
    • Diri Identitas Diangap sebagai aspek dari dasar gambaran diri. Subdimensi ini menggambarkan “siapakah saya?”,
    • Diri Pelaku Diri pelaku merupakan persepsi individu terhadap tindakan yang telah dilakukannya.
    • Diri Penilai Berfungsi sebagai pengamat dan pengevaluasi diri identitas dan diri prilaku, diri penilai dapat pula bertindak sebagai mediator antara kedua aspek sebelumnya.

 

  1. Dimensi Eksternal
    • Diri Fisik Menampilkan pandangan individu terhadap kebutuhannya, kesehatannya, penampilanya, dan seksualitasnya.
    • Diri Moral-etik Menggambarkan diri ditinjau dari kerangka moral-etik.
    • Diri Pribadi Merefleksikan seberapa berharga individu menilai dirinya.
    • Diri Keluarga dan Diri Sosial Menampilkan persepsi dari individu dalam kaitannya dengan interaksi sosialnya.

2.1.4 Karakteristik Self-Esteem

Coopersmith (dalam Lefrancois, 1986) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self-esteem yang lebih tinggi memiliki bebrapa karkteristik seperti :

  1. Lebih dipilih untuk menjadi teman.
  2. Terlihat lebih mudah bergaul dan memiliki teman baru.
  3. Dalam suatu kelompok diskusi terlihat lebih aktif dibandingkan hanya sebagai pendengar saja.
  4. Lebih tinggi tingkat konformitasnya.
  5. Memiliki nilai yang tinggi dalam pengukuran atau tes kreativitas.
  6. Lebih outspoken.
  7. Kurang sensitif terhadap kritikan-kritikan
  8. Kesadaran diri (self-conscious) yang rendah.

2.1.5 Tingkatan harga diri (self esteem)

Pada umumnya self esteem hanya digolongkan sebagai self esteem yang positif dan self esteem yang negatif. Namun Coopersmith (dalam Yanuar, 2004) membagi self esteem kedalam tiga tingkatan, yaitu:

  1. Self esteem tinggi

Self esteem yang tinggi menunjukan kemampuan dalam menghadapi tugas dan orang lain dengan penuh pengharapan akan sukses dan diterima. Individu ini juga memiliki pandangan yang lebih realistis dan positif terhadap lingkungan sekitarnya dan juga terhdap dirinya sendiri. Hal ini membuat diri apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.

  1. Self esteem menengah

Individu sengan self esteem menengah digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kepercayaan diri agak lemah. Hal ini ditandai dengan adanya ketergantungan pada pendapat orang lain dalam melakukan evaluasi terhdap dirinya. Selain itu individu juga memiliki aspirasi yang lebih rendah dari pada mereka yang memiliki self esteem tinggi.

  1. Self esteem rendah

Individu dengan self esteem yang rendah digambarkan sebagai orang yang tidak percaya pada dunia, disamping tidak adanya kepercayaan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Individu ini akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain karena tidak danya rasa percaya diri, baik terhadap lingkungan maupun terhadap dirinya. Mereka cenderung akan bergantung pada sosok lain, terutama dengan orang yang dianggap kuat.

2.2 Motivasi

Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :

  • Kebutuhan fisiologis atau dasar
  • Kebutuhan akan rasa aman
  • Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
  • Kebutuhan untuk dihargai
  • Kebutuhan untuk aktualisasi diri

Maslow menyebut empat kebutuhan mulai dari kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan harga diri dengan sebutan homeostatis. Kemudian berhenti dengan sendirinya.

Maslow memperluas cakupan prinsip homeostatik ini kepada kebutuhan-kebutuhan tadi, seperti rasa aman, cinta dan harga diri yang biasanya tidak kita kaitkan dengan prinsip tersebut. Maslow menganggap kebutuhan-kebutuhan defisit tadi sebagai kebutuhan untuk bertahan. Cinta dan kasih sayang pun sebenarnya memperjelas kebutuhan ini sudah ada sejak lahir persis sama dengan insting.

Kebutuhan Fisiologis

Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan (defisi) sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) bisa menyebabkan manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).

Kebutuhan Rasa Aman

Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut, cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.

Kebutuhan Dicintai dan Disayangi

Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya “akar” dalam masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.

Kebutuhan Harga Diri

Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri, dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self actualization).

Kebutuhan Aktualisasi Diri

Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang terdapat 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.

 

 

2.3 Remaja

2.3.1 Pengertian remaja

Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescereyang artinya “ tumbuh dan tumbuh untuk mencapai kematangan” bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan.

Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas.Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk golongan orang dewasa.Remaja ada diantara anak-anak dan orang dewasa.Oleh karena itu remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”.  Remaja belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.

2.3.1 Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja

Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan prilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berprilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah berusaha:

  1. Mampu menerima keadaan fisiknya.
  2. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlawanan jenis.
  3. Mencapai kemandirian emosional
  4. Mencapai kemandirian ekonomi
  5. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
  6. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang-orang dewasa dan orang tua.
  7. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
  8. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan

Tugas-tugas perkembangan pada fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif  akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan itu dengan baik.

2.3.2 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu dari hasil pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar, dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Pada akhirnya pertumbuhan ini mencapai titik akhir, yang berarti bahwa  pertumbuhan selesai. Bahkan pada usia tertentu, misalnya usia lanjut, justru ada bagian-bagian fisik tertentu yang mengalami penurunan dan pengurangan.

Sedangkan perkembangan lebih mengacu kepada perubahan karakteristik yang khas dari gejala-gejala psikologis ke arah yang lebih maju. Para ahli psikologi pada umumnya merujuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak lepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis.

2.3.3 Karakteristik Umum Perkembangan Remaja

Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson disebut dengan identitas ego (ego identity). Ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa.Oleh karena itu, ada sejumlah sikap yang sering ditunjukka oleh remaja yaitu:

  1. Kegelisahan

Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan, namun sesungguhnya remaja belum memilikki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginan jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuannya.Tarik menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuan yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi perasaan gelisah.

  1. Pertentangan

Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikolois antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dan oang tua..

  1. Mengkhayal

Keinginan untuk menjelajah dan bertualang tidak semuanya tersalurkan, biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya. Sebab, menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari orang tuanya. Akibatnya, mereka menghayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi.

  1. Aktivitas berkelompok

Berbagai macam keinginan  para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala, dan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya biaya. Adanya bermcam-macam larangan dari orang tua seringkali melemakan atau bahkan mematahkan semangat para remaja.Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan berama.Mereka melakukan kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama.

  1. Keinginan mencoba segala sesuatu

Pada umumnya, remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.Karena di dorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cendrung ingin bertualang, menjelajah segala sesuatu, dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya.

ALFINA

Self esteem sendiri dimiliki oleh semua manusia, seiring dengan perkembangan manusia self esteem tersebut terbentuk. Salah satu proses pembentukan self esteem yang terpenting adalah saat saat remaja, salah satu kegiatan remaja dalam meningkatkan self esteem adalah dengan selfie. Selfie sendiri dapat disimpulkan sebagai bentuk dari self esteem. Semakin tinggi seorang remaja putri melakukan selfie maka semakin termotivasi untuk mengunggah foto ke media sosial.Ketika self esteem seorang remaja putri tersebut rendah maka motivasi nya untuk mengunggah foto ke media sosial juga rendah.

Prilaku dalam bentuk selfie tersebut dilihat oleh remaja putri. Ketika hasil selfie semakin baik maka motivasi untuk mengunggah ke media sosial semakin besar. Karena ingin ada nya pengakuan baik dari doro seorang remaja tersebut. Dimana dalam diri seorang remaja terdapatkebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri.

Daftar Pustaka

Edward Hoffman. 1988. A Biography of Abraham Maslow. Los Angeles: Jeremy P. Tarcher. Hlm. 174.

Abraham H. Maslow. 1964. Religion, Value, and Peak-Experiences. Columbus: Ohis State University Press. Hlm. 8.

  1. George Boeree. 2006. Personality Theories. Yogyakarta: Primasophie. Hlm. 277-290.

Abraham H. Maslow. 1968. Toward a Psychology of Being, 2d ed. New York: D. Van Nostrad. Hlm. 25.

Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 174-178.

Abraham H. Maslow. 1986. Farther Reaches of Human Nature. New York: Orbis Book. Hlm. 260-280, 299.

Abraham Maslow. 2006. On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset. Hlm. 153, 168, 170-172, 299-342.

Berger, Kathleen Stassen (1983). The Developing Person through the Life Span.

Goble, F. (1970). The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow. Richmond, CA: Maurice Bassett Publishing.

Goud, N (2008). Abraham maslow: A personal statement. Journal of Humanistic Psychology, 48(4), 448-451. doi:10.1177/0022167808320535.

Hoffman, Edward (1988). The Right to be Human: A Biography of Abraham Maslow. New York: St. Martin’s Press.

Hoffman, E. (1999), Abraham Maslow: A Brief Reminiscence. In: Journal of Humanistic Psychology Fall 2008 vol. 48 no. 4 443-444, New York: McGraw-Hill

Rennie, David (2008). Two Thoughts on Abraham Maslow. Journal of Humanistic Psychology, 48(4), 445-448. doi:10.1177/0022167808320537.

Sommers, Christina Hoff; Satel, Sally (2006). One Nation Under Therapy: How the Helping Culture is Eroding Self-reliance. McMillian. ISBN 0-312-30444-7.

Ali, mohammad, 2004. Psikologi remaja. Bandung: bumi aksara

  1. hurlock, elizabeth, 1980. Psikologi perkembangn. Jakarta: erlangga

Promoting Self-Esteem in Adolescents: The Influence of Wellness Factors (Jane E. Myers, John T. Willse, and Jose A. Villalba: Winter 2011, Number 1, Volume 89)

(https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/marella%20bab%202.pdf)