Herinda Ramandha – 1601241901 – LE64

herinda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko di negara-negara berkembang. Di seluruh dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300 juta adalah obese (Kompas, 02.11.2010). Berdasarkan data dari WHO tahun 2008, prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada pria mencapai 2,5% dan pada wanita 6,9%.1 Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk indonesia yang obesitas hanya 4,7% (±9,8 juta jiwa). Data riset kesehatan dasar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada 2013, secara nasional masalah gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni 18,8%, terdiri atas 10,8% yang gemuk dan 8,8% sangat gemuk. Sedangkan pravalensi gemuk pada usia 13-15 tahun sebesar 10,8%, terdiri atas 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk (Tempo.co, 2014). Seseorang yang dapat dianggap obesitas jika seseorang tersebut memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Menurut WHO, Obesitas pada remaja diperhitungkan sebagai BB (berat badan) terhadap TB (tinggi badan) lebih tinggi dari 120%.

Obesitas atau kegemukan adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat badan idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak ditubuhnya (Mutadin,2002). Banyak yang menjadi penyebab terjadinya obesitas yaitu dari faktor genetik, obesitas lebih cenderung diturunkan atau orang yang mengalami obesitas cenderung karena adanya keturunan dalam suatu keluarga besar, Faktor lingkungan dan aktivitas yang kurang, gaya hidup yang tidak sehat dan makanan yang dimakan juga dapat terjadinya obesitas (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Orang yang sudah mengalami obesitas biasanya sudah terbiasa dengan malas-malasan dan kurang melakukan olahraga apalagi melakukan aktivitas yang dapat mengeluarkan keringat sebagai pembuangan lemak, Faktor psikis, banyak orang yang meluapkan emosinya pada saat makan. apalagi jika seseorang sedang sangat lapar pasti akan makan secara buru-buru dan dengan porsi yang lebih dari biasanya. Jika makan pada saat sangat lapar akan lebih mudah terjadinya obesitas, lebih baik makan pada saat belum terlalu lapar (www.indosiar.com).

Dari banyaknya penyebab yang dapat terjadinya obesitas akan ada dampak yang buruk bagi kesehatan. Seperti pada penelitian Bray (1984) dan Brownell (1986), juga menyebutkan bahwa orang yang mengalami obesitas mempunyai dampak buruk pada kesehatan dan interaksi sosial yang berlangsung selama rentang usia anak-anak hingga dewasa. Maka dari itu karena adanya dampak buruk yang terjadi, permasalahan obesitas atau kegemukan ini banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat luas karena jika seseorang yang mengalami obesitas akan lebih mudah untuk memicu banyaknya penyakit. Dampak buruk yang dapat terjadi pada biologis atau kesehatan fisik yaitu penyakit jantung, diabetes, tekanan darah tinggi, stroke, kanker, kegagalan untuk bernafas, dari semua penyakit itu merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

Bukan hanya dampak buruk yang terjadi pada biologis atau kesehatan fisik saja tetapi juga dapat terjadi dampak buruk pada psikologis atau aspek psikologis dan sosial. Banyak hal yang terjadi pada psikologis salah satunya yaitu body image dispragement adalah seseorang yang kegemukan merasa bahwa tubuhnya aneh sekali dan tidak disukai sehingga orang lain memandangnya dengan jijik dan permusuhan (Stunkard dan Medelson dalam Goodstein, 1983). Keadaan seperti ini yang dapat memberi anggapan bahwa seseorang yang mengalami obesitas atau kegemukan akan memandang bahwa semua orang yang ada di dunia ini akan memandang mereka dengan penuh penghinaan dan sebelah mata. Akibatnya jika mereka mempunyai pandangan seperti itu, seseorang akan lebih merasa stres, cemas, cenderung untuk menarik diri, malu, rendah diri, bahkan depresi dan secara sosial tidak dewasa. Menurut penelitian Schacter (1998), orang yang mengalami obesitas cenderung lebih sensitif dalam berinteraksi dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami obesitas.

Seorang remaja akan merasa kehilangan kepercayaan dirinya ketika seorang remaja tidak memiliki bentuk tubuh yang tidak proporsional atau langsing seperti memiliki banyak lipatan pada perut, pinggang, paha maupun lengan (Mu’tadin, 2002). Remaja dengan memiliki bobot berat badan yang berlebihan juga dianggap akan mengalami permasalahan yang cukup berat untuk menarik perhatian lawan jenis (Mu’tadin 2002). Seorang yang obesitas atau kegemukan akan memiliki pemikiran bahwa lawan jenis akan lebih menyukai pada seorang yang mempunyai kondisi badan yang proporsional dan langsing. Pemikiran yang seperti itu akan banyak remaja yang berharap dapat membuat tubuhnya ideal dan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya tersebut, termasuk diet ketat dan mengkonsumsi obat-obatan yang bisa membahayakan nyawa. Banyak remaja yang memikir pendek untuk mendapatkan berat badan yang ideal tanpa memikirkan dampak atau akibat yang akan didapat dengan melakukan hal tersebut.

Menurut Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga Self esteem adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Seorang yang obesitas pasti akan melakukan hal apapun untuk memenuhi berat badan yang ideal dan segala carapun akan ditempuhnya. Self esteem adalah bagian yang meliputi suatu penilaian, jika seseorang tidak puas dengan penilaian pada dirinya pasti akan melakukan penolakan diri atau sering merasa bersalah. Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hal yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku mengenai diri. Biasanya seseorang yang obesitas merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain, jika seorang yang mengalami obesitas tidak mampu untuk menerima dirinya sendiri maka mereka akan menganggap orang-orang yang disekitarnya pun tidak dapat menerima dirinya juga. Aspek utama dalam harga diri adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain, manusia cenderung bersifat negatif walaupun ia cinta dan mengakui kemampuan orang lain namun jarang mengekspresikan. Harga diri akan bermakana dan berhasil jika diterima dan diakui orang lain merasa mampu menghadapi kehidupan merasa dapat mengontrol dirinya (Widiyatun, 1999).

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan harga diri remaja adalah perkembangan individu tidak realistis, keluarga dan pengalaman traumatik yang berulang. Seorang yang mengalami obesitas akan lebih sensitif jika orang yang obesitas mendapat suatu perlakuan yang tidak adil akan membuat menjadi lebih rendah diri dan lebih mudah untuk menarik diri, perlakuan seperi itulah yang akan membuat seorang yang obesitas lebih tidak dapat menghargai dirinya. Apalagi jika seorang yang obesitas atau kegemukan mendapatkan sebuah ejekan atau penghinaan di depan banyak orang atau banyak orang yang mendengarnya pasti akan membuat orang yang obesitas menjadi malu, stress, depresi dan hal tersebut dapat menjadi pengalaman traumatik pada dirinya yang akan lebih memicu pada tindakan yang nekad. Banyak orang yang obesitas menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri.

Pada masa remaja, mereka mulai lebih sadar akan dirinya dibandingkan pada saat masa anak–anak. Remaja akan lebih sadar diri dan memberikan perhatian yang lebih pada citra tubuhnya dan perhatian terhadap citra tubuh tersebut akan lebih terlihat besar pada remaja putri (Hurlock, 2003). Salah satu aspek yang menonjol dalam perkembangan remaja adalah perkembangan fisik. Pada remaja, wanita lebih mudah untuk mengalami obesitas karena pria memiliki lebih banyak otot dibandingkan dengan wanita. Otot membakar lebih banyak lemak daripada sel-sel lain. Oleh karena wanita lebih sedikit memiliki otot, maka wanita memperoleh kesempatan yang lebih kecil untuk membakar lemak. Hasilnya, wanita lebih berisiko mengalami obesitas (artikel kesehatan masyarakat, 2014).

Seorang remaja putri yang mengalami obesitas akan mulai cemas karena akan mengalami kesulitan dalam menarik perhatian lawan jenisnya. Mereka akan berfikir bahwa remaja pria akan lebih menyukai pasangannya jika pasangannya mempunyai tubuh yang langsing dan proporsional. Dengan hal tersebut remaja putri pasti akan malu dan menarik diri jika bertemu dengan banyak remaja pria atau lawan jenisnya. Akan merasa dirinya tidak menarik dan tidak percaya diri untuk mengekspresikan diri. Hal-hal tersebut yang dapat mempengaruhi self-esteem yang dimiliki oleh remaja putri. Self-esteem yang dimiliki seorang remaja putri yang mengalami obesitas atau kegemukan pasti berbeda-beda. Tergantung bagaimana seorang remaja putri itu dapat menghadapi atau menerima segala reaksi yang dimunculkan orang lain terhadap dirinya. Dengan hal-hal tersebut dapat memunculkkan beberapa dampak psikologis pada remaja yang mengalami obesitas karena merasa dirinya belum sempurna seperti yang diinginkan dan dikarenakan adanya reaksi baik dari dalam diri maupun dari luar diri.

Berdasarkan informasi atau penjelasan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Penulis ingin untuk melihat gambaran self-esteem pada remaja putri yang mengalami obesitas.

 

1.2                Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran self-esteem pada remaja putri yang mengalami obesitas?

1.3        Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran self-esteem pada remaja putri yang mengalami obesitas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Self-Esteem

2.1.1 Definisi Self-esteem

Self-esteem merupakan komponen afektif, kognitif dan evaluatif yag bukan hanya merupakan persoalan pribadi ataupun psikologis, tetapi juga interaksi sosial.

Self-esteem merupakan sikap yang berdasarkan pada persepsi mengenai nilai seseorang dan Self-esteem merupakan sikap positif maupun negatif terhadap diri individu (Rosenberg dalam Murg, 2006).

Rosenberg (1965) mendefinisikan self-esteem sebagai perasaan penerimaan diri (self accepted), penghargaan diri (self respect dan self worth), dan evaluasi diri sendiri yang positif yang dikonseptualisasikan sebagai karateristik yang relatif menetap.

Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) mengatakan bahwa self-esteem merupakan penilaian individu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam pembanding.

Jadi dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah sebuah penilaian, evaluasi diri, penerimaan diri terhadap diri sendiri dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki orang lain dengan diri sendiri.

2.1.2   Bentuk-bentuk Self-esteem

Menurut Brown dan Marshall (2006), bentuk-bentuk self-esteem dibagi menjadi 3 yaitu :

  • Global self-esteem

Peneliti menyebutnya bentuk self-esteemsebagai global self esteem atau trait self-esteem, karena bertahan dalam berbagai waktu dan situasi. Global self-esteem telah terbukti kestabilannya disepanjang masa dewasa, dengan komponen genetik yang berkaitan dengan temperamen dan neurotisme (Neiss, Sedikides, & Stevenson, 2002).

  • Feelings of Self-Worth

Self-esteem juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu. Self-worth adalah perasaan bangga atau puas terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif).

  • Self-Evaluations

Self-Evaluations merujuk pada cara seseorang mengevaluasi kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya.

2.1.3        Tingkat self-esteem

Dalam self-esteem ada tingkat self-esteem yang dikemukakan oleh Murk (2006) berdasarkan dari definisi-definisi menurut ahli, tingkatan tersebut yaitu seorang yang mempunyai self-esteem yang rendah akan lebih mudah cemas, depresi, kurang inisiati dan lebih untuk menghindari konflik. Seorang yang self-esteem rendah merasa tidak berharga dan tidak memiliki kompetensi dalam diri.

Seorang yang memiliki self-esteem yang tinggi merasa senang dengan dirinya, terbuka dengan pengalaman baru dan lebih optimis. Seorang yang memiliki self-esteem tinggi akan merasa dirinya lebih berharga dan memiliki kompetensi yang baik dalam dirinya.

2.1.4 Faktor yang mempengaruhi self-esteem

  • Pola asuh

Seorang yang memiliki self-esteem yang tinggi memiliki orang tua yang supportif, menciptakan kehangatan, perhatian, mendorong anak memupuk standar perilaku yang tinggi, membimbing mereka dan membuat keputusan yang tepat (Coopersmith, 1967; Isberg et al, 1989; Lomborn et al., 1991 dalam Schafer, 2001).

  • Jenis Kelamin

Pengaruh jenis kelamin pada individu salah satunya pertumbuhan fisik yang diakibatkan masa pubertas. Di mana perempuan cenderung lebih memperhatikan perubahan fisiknya dan penerimaan temen sebaya. (Simon & Rosenberg, dalam Steinberg 2002). Hal ini paling banyak terjadi pada usia remaja dan dewasa sedangkan tidak berpengaruh besar pada usia tua. Etnik juga berpengaruh terhadap self-esteem (Orth, Robbins dan Trzesniewski, 2010).

  • Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, pendapatan dan gengsi pekerjaan. Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi self-esteem karena status dan kekayaan dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang nilai dirinya (Orth, Robbins dan Trzesniewski, 2010).

  • Prestasi

Prestasi merupakan tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Bukan hanya dalam hal akademik namun juga dalam hal karir atau pekerjaan dan kehidupan sosial. Melalui prestasi orang-orang dapat melihat pencapaian yang telah dicapai.

 

2.2 Remaja Putri

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang  berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai  arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional  sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Santrock (2003: 26) juga mengemukakan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi  antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,  kognitif, dan sosial-emosional. Hal ini senada atau sama dengan Calon mengemukakan bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (dalam Monks, dkk 1994).  Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 0tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa  remaja akhir 18 – 21 tahun (dalam Deswita, 2006:  192). Menurut papalia,Olds dan Feldman (2007), remaja merupakan sebuah tahap perkembangan yang berada diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dari beberapa definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja dan masa remaja adalah seorang yang berumur 12-22 tahun yang sedang mengalami proses peralihan dari masa anak-anak yang terus mengalami masa perkembang sampai dewasa.

 

2.3 Remaja Putri dengan Obesitas

Remaja putri adalah sosok yang sedang berkembang baik dari segi fisik maupun seksual. Hurlock (1994) menerangkan alasan mengapa kepuasan terhadap perubahan fisik yang terjadi ketika tubuh anak beralih menjadi dewasa adalah sangat penting. Monks dkk (1994), perkembangan atau pertumbuhan anggota-anggota badan pada remaja putri kadang-kadang lebih cepat daripada perkembangan badan. Oleh karena itu, seorang remaja putri yang mempunyai proporsi tubuh yang tidak seimbang akan menimbulkan kepanikan dan kegelisahan karena pada masa remaja ini perhatian remaja sangat besar terhadap penampilan dirinya.

2.3.1 Obesitas

2.3.1.1 Definisi Obesitas

Semua orang membutuhkan lemak dalam tubuh untuk menjadikan sumber energi tetapi kelebihan lemak ditubuh juga dapat menyebabkan obesitas. Obesitas adalah masalah kesehatan yang serius dan banyak melanda individu (Howel, 2010; Kruseman & kawan-kawan, 2010). Obesitas adalah kelebihan berat badan dari ukuran ideal yang diakibatkan penimbunan lemak dan dapat membahayakan individu. Hal itu dibenarkan oleh Mayer (1973), Obesitas merupakan keadaan patologis karena penimbunan lemak berlebihan daripada yang diperlukan untuk fungsi tubuh (dalam Galih Tri Utomo, 2012). Obesitas juga dapat didefinisikan sebagai gangguan dimana memiliki kelebihan akumulasi lemak tubuh yang sejauh ini dapat mengganggu kesehatan dan dapat mempengaruhi kesehatan (Royal College of Physicians, 1998, dalam Julie Waumsley & Nanette Mutrie, 2010).

Menurut Harimurti dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran FKUI, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (dalam Bisnis Indonesia, 2005) menyebutkan bahwa obesitas merupakan keadaan dimana terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dibanding kebutuhan, sebagai akibat adanya imblans antara pemasukan energi dan pengeluaran energi. Penimbunan lemak terjadi biasanya karena jumlah makanan yang dikonsumsi dengan aktivitas yang dilakukan tidak seimbang. Menurut Taylor (1991) mengatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami obesitas apabila berat badan individu tersebut melebihi 20% dari berat badan ideal. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa orang yang mengalami obesitas adalah orang yang terdapat ditubuhnya kelebihan atau penimbunan lemak didalam tubuh dan berat badan yang dimiliki melebihi 20% dari berat ideal yang seharusnya dimiliki.

 

2.3.1.2 Faktor-Faktor penyebab obesitas

Faktor yang menjadi penyebab obesitas saat kompleks dan sulit untuk dimengerti karena begitu banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi obesitas. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa faktor yang menjadi penyebab obesitas adalah faktor genetik, psikologi, fisiologi, dan faktor-faktor lainnya. Namun, penelitian yang lebih baru juga telah menemukan faktor yang dapat menyebabkan obesitas yaitu genetik, fisiologis, dan gaya hidup (dalam Colin Wilborn, 2005). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Santrock (1999) beberapa penyebab terjadinya obesitas yaitu :

  • Faktor genetis

Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.

  • Faktor sosial ekonomi

Santrock (1991) mencatat bahwa wanita berasal dari status sosial ekonomi yang rndah cenderung memiliki berat badan yang gemuk dibandingkan dengan wanita yang berasal dari status ekonomi tinggi.

Selain itu ketika kita sudah beranjak dewasa, banyak dari kita mengembangkan pola tidak sarapan, makan tidak teratur dan mengandalkan kudapan sebagai sumber makanan utama sepanjang hari, makan berlebihan sanpai melebihi batas berat badan normal untuk usia kita, menjadi perokok sedang atau berat, minum alkohol sesekali atau menjadi peminum berat, tidak berolahraga dan kurang tidur di malam hari (Cousineau, Goldstein & Franco, 2005).

Hal tersebut juga senada dengan penelitian Stettler N, at all (dalam Ratu ayu 2011) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan makanan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan.Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kurangnya aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Faktor resiko utama yang menyebabkan obesitas adalah faktor perilaku yaitu pola makan yang tidak sehat ditambah dengan konsumsi serat (buah dan sayur) tidak mecukupi, aktivitas fisik yang kurang , dan merokok.

2.3.1.3 Dampak Obesitas

–          Dampak Fisik

Seseorang yang mengalami obesitas akan membahayakan dirinya karena obesitas dapat memicu berbagai penyakit. Obesitas berkaitan dengan meningkatnya risiko terserangnya penyakit hipertensi, diabetes dan penyakut kardiovaskular (Granger & kawan-kawan, 2010). Beberapa Uraian tentang berbagai penyakit yang akan muncul jika mengalami obesitas : Penyakit Hipertensi (Tekanan darah tinggi) Orang yang mengalami obesitas atau orang yang gemuk terdapat peningkatan jumlah darah yang beredar sehingga tekanan darah menjadi meningkat, Penyakit Diabetes tipe 2 (Orang yang mengalami obesitas akan lebih mudah untuk terserang penyakit ini dibandingkan orang yang tidak mengalami obesitas. Biasanya juga hanya terdapat pada orang-orang yang gemuk saja), Penyakit Jantung (Orang yang mengalami obesitas akan lebih mudah terkena penyakit jantung karena lemak yang berlebihan yang ada didalam tubuh akan mempersempit ruang di jantung. Penyakit jantung yang sering terjadi yaitu penyempitan pembuluh darah)

Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa dampak fisik atau penyakit yang dapat terjadi pada seorang yang obesitas yaitu penyakit diabetes tipe 2, kanker, hipertensi, stroke dan penyakit hati.

–          Dampak Psikis

Obesitas menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan banyak orang. Tak hanya memberikan efek fisik, obesitas juga mempengaruhi psikologis. Biasanya remaja yang mengalami obesitas akan berperawakan lebih pendek. Kebanyakan remaja yang mengalami obesitas dipicu oleh makan yang terlalu banyak dan sedikit berolahraga. Kondisi inilah yang dapat menimbulkan perasaan dimana remaja yang mengalami obesitas merasa dirinya berbeda atau dibedakan dari lingkungan sosial. Remaja yang mengalami obesitas akan labih rentan mengalami berbagai masalah psikologis. Menurut Dahlia Novarianing dan Setiasih (dalam Indonesian Psychology Journal, 2005) mengatakan bahwa dampak psikis dari obesitas adalah :

  1. Merasa bahwa penampilannya buruk sehingga muncul rasa kurang percaya diri
  2. Penampilannya merasa kurang enak dipandang mata
  3. Depresi
  4. Munculnya perasaan tertekan
  5. Mudah putus asa

Berat badan berlebih atau obesitas juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental. Sebagai contoh, studi terbaru mengungkapkan bahwa wanita yang berlebihan berat badan lebih besar kemungkinannya untuk menderita depresi dibandingkan wanita dengan berat badan normal (Ball, Burton & Brown, 2009). Jadi dapat disimpulkan dari uraian diatas bahwa seorang yang obesitas memiliki dampak psikologis yang dialami yaitu seperti merasa rendah diri, kurang kepercayaan diri yang dimiliki, pasif, mudah depresi, stress dan mudah menyerah atau putus asa.

2.4 Kerangka Berpikir

herinda2

Berdasarkan gambar skema diatas. Pada remaja, Santrock (2003: 26) remaja adalah masa perkembangan transisi  antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,  kognitif, dan sosial-emosional. Pada Obesitas adalah masalah kesehatan yang serius dan banyak melanda individu (Howel, 2010; Kruseman & kawan-kawan, 2010). Obesitas juga dapat didefinisikan sebagai gangguan dimana memiliki kelebihan akumulasi lemak tubuh yang sejauh ini dapat menganggu kesehatan dan dapat mempengaruhi kesehatan (Royal College of Physicians, 1998, dalam Julie Waumsley & Nanette Mutrie, 2010). Taylor (1991) mengatakan bahwa seseorang dikatakan mengalami obesitas apabila berat badan individu tersebut melebihi 20% dari berat badan ideal. Seperti yang sudah dijelaskan oleh para ahli, Jadi remaja putri yang obesitas yang memiliki berat badan melebihi 20% dari berat badan idealnya berarti remaja putri tersebut sudah termasuk ke dalam orang yang obesitas dan orang yang obesitas akan mendapatkan masalah atau gangguan pada kesehatan, penyakit yang didapat pun adalah penyakit yang serius. Selain akan mendapatkan sebuah penyakit yang serius, pada remaja pun juga akan terjadinya perubahan pada bentuk tubuh maupun perubahan fisik. Dengan perubahan fisik yang dialami oleh remaja putri ini membuat mereka peduli akan penampilannya, pada remaja putri kegemukan adalah merupakan masalah yang cukup berat. Karena remaja putri memgartikan untuk dapat tampil sempurna dengan memiliki tubuh yang langsing dan ramping. Obesitas juga menganggu penampilan bagi seorang remaja putri, selain berdampak pada psikologis juga akan berdampak pada kesehatan yang dimiliki. Sedikit saja ada kekurangan maka mereka mulai merasa panik dan bingung sehingga jadi rendah diri dan minder (Santrock, 2004 h. 384). Dengan seperti itu remaja akan cenderung terbentuknya self-esteem rendah yang dimiliki.

Selain akan mendapatkan berbagai penyakit yang akan muncul, remaja putri dengan obesitas pun juga akan dapat melihat dan dapat merasakan perubahan fisik yang terjadi pada diri. Dari perubahan tersebut akan mendapatkan sebuah gambaran self-esteem pada remaja putri dengan obesitas. Didefinisikan, Self-esteem merupakan sikap yang berdasarkan pada persepsi mengenai nilai seseorang dan Self-esteem merupakan sikap positif maupun negatif terhadap diri individu (Rosenberg dalam Murg, 2006). Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) mengatakan bahwa self-esteem merupakan penilaian individu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam pembanding. Jadi, dengan remaja yang obesitas akan melihat atau merasakan dengan adanya perubahan fisik yang dimiliki, remaja putri dengan obesitas akan melakukan sebuah penilaian diri atau evaluasi diri terhadap diri sendiri dengan penilaian tersebut dapat berupa sikap postif atau sikap negatif terhadap diri dan menjadikan karakteristik yang dimiliki oleh orang lain sebagai pembanding. Dengan melakukan penilaian tersebut apakah seorang yang obesitas akan memiliki self-esteem yang rendah atau tinggi, semua itu tergantung pada mereka yang menilai diri mereka sendiri seperti apa atau sudah cukup puas dengan bentuk tubuh atau fisik yang mereka miliki.

Dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan seseorang yang mengalami obesitas akan dapat membentuk sebuah self esteem yang dimiliki pada diri dapat berupa self-esteem rendah maupun self-esteem tinggi. Dan dengan diikuti adanya perubahan fisik yang dimiliki oleh remaja putri akan cenderung memiliki self-esteem rendah namun sebaliknya jika remaja putri biasa saja melihatnya atau menanggapinya mungkin akan cenderung ke self-esteem tinggi. Seorang yang memiliki self-esteem rendah akan lebih kurangnya percaya diri, pasif, minder akan dirinya dan seorang yang memiliki self-esteem tinggi akan lebih percaya diri, senang akan dirinya.

Daftar Pustaka

John W. Santrock. 2012. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga

Brown, J. D., & Marshall, M. A. (2006). The three faces of self-esteem. In M. Kernis (Ed.), Self-esteem: Issues and answers (pp. 4-9). New York: Psychology Press.

Colin Wilborn, J. B. (2005). Obesity: Prevalence, Theories, Medical Consequences, Management, and Research Directions. Journal of the International Society of Sports Nutrition. , 5-6.

Galih Tri Utomo, Said Junaidi, Setya Rahayu. 2012. LATIHAN SENAM AEROBIK UNTUK MENURUNKAN BERAT BADAN, LEMAK, DAN KOLESTEROL: Universitas Negeri Semarang : Journal of Sport Sciences and Fitness.

(El, 2013)

El, M. J. (2013). Hubungan antara self-esteem dan Prokrastinasi Akamdemik Pada Mahasiswa Angkatan 2010 Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Jurnal ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya .

Sorga Perucha Iful Prameswari, S. A. (2013). Jurnal Keperawatan Komunitas. HUBUNGAN OBESITAS DENGAN CITRA DIRI DAN HARGA DIRI PADA REMAJA PUTRI DI KELURAHAN JOMBLANG KECAMATAN CANDISARI SEMARANG .

Haeruddin, I. (2014, September 8). Artikel Kesehatan Masyarakat. obesitas .

www.belajarpsikologi.com

http://www.indosiar.com/ragam/obesitas–penyakit-kelebihan-berat-badan_21451.html

http://webkesehatan.com/obesitas-fakta-penyebab-dan-resikonya/

http://health.liputan6.com/read/547123/dampak-fisik-dan-psikis-jika-membiarkan-anak-gemuk

http://health.perempuan.com/dampak-psikologis-obesitas-pada-remaja/

http://www.e-psikologi.com/artikel/individual/obesitas-dan-faktor-penyebab

Pyszczynski, T., & Cox, C. (2004). Can we really do without self-esteem: Comment on Crocker and Park (2004). Psychological Bulletin, 130, 425-429.

Bray, GaB, C, Handbook of Obesity: Etiology and Pathophysiology. 2 ed. 2004: Marcel Dekker Inc. 1200.

Flodmark, C.-E. (2005). International Journal of Obesity. The happy obese child , 531-533.