Anindya Nur Sasabila—1601279251

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

 

Pada masa kini sebagian besar wanita membandingkan tubuhnya dengan visual tubuh ideal yang terbentuk dalam masyarakat (Tiara, 2012). Para wanita cenderung mengubah penampilan fisiknya sesuai dengan bentuk tubuh yang ideal karena merasa bentuk tubuhnya kurang ideal. Pandangan tentang bentuk tubuh yang ideal terbentuk dari pengalaman pribadi individu, aspek sosial, dan juga pengaruh budaya. Biasanya para wanita rela melakukan segala hal untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal seperti dengan meminum obat pelangsing tubuh, melakukan olahraga yang berlebihan, dan mengikuti program diet yang sangat ketat. Beberapa tahun belakangan ini diet ketat menjadi sesuatu tren yang sangat booming dikalangan wanita, hal ini dikarenakan adanya ketidakpuasan dalam bentuk tubuh aslinya, dan juga adanya pembentukan perspektif badan yang ideal di dalam masyarakat yang menstandarisasi bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki tubuh tinggi dan kurus semampai.

Faktor- faktor pembentukan perspektif tentang tubuh yang ideal tidak hanya datang dari faktor-faktor yang telah di sebutkan di dalam paragraf sebelumnya, masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan perspektif tentang tubuh yang ideal, salah satu faktor lainya adalah tuntutan profesi. Salah satu profesi yang diketahui menekan berat badan untuk mencapai performa yang sempurna adalah penari. Dalam hal ini para penari balet banyak menunjukkan perilaku penekanan pada pola makan sehingga diketahui juga para penari balet memiliki perilaku diet yang sangat ketat. Hal ini diperkuat dengan adanya studi yang menunjukkan bahwa 10-12% penari balet pada umumnya memiliki berat badan dibawah skala ideal dan mereka terlibat dalam diet untuk menjaga berat badan (Kaufman et al.,dalam Schluger, 2010).

Para penari balet juga diketahui memiliki pandangan tentang kesuksesan karirnya sebagai penari balet dengan proporsi badan yang sangat kurus. Mereka mengekspektasikan seorang penari balet yang sukses dengan kekurusan badan yang mereka miliki dalam arti lain, semakin penari balet memiliki berat badan dibawah rata-rata semakin sempurna gerakan yang akan dihasilkan. Para penari balet muda melihat para penari balet yang lebih tua dan percaya bahwa mereka akan mendapatkan sebuah pekerjaan apabila memiliki bentuk badan yang ideal (coachup.com, 2014). Terlebih lagi penciptaan padangan seperti ini muncul pada saat penari balet selalu dihadapkan oleh sebuah kaca disekelilingnya di saat mereka berlatih berjam-jam, secara otomatis para penari balet dipaksa untuk terus memperhatikan lekuk tubuhnya dan selalu membandingkan tubuhnya dengan para penari balet lainnya. Semua ini menggambarkan adanya bahwa perspektif para penari balet tentang tubuh yang ideal datang dari dalam diri individu masing masing.

Namun dapat diketahui, pembentukan pandangan tentang bentuk tubuh yang ideal tidak hanya muncul dalam diri penari balet sendiri namun itu juga berasal dari faktor lingkungan terdekatnya. Dari hasil observasi peneliti biasanya para pengajar meminta para penari balet untuk menjaga makanan yang mereka makan, seperti makan banyak sayuran dan buah, tidak makan terlalu banyak karbohidrat, tidak boleh memakanmanisan gula, tidak boleh banyak mengonsumsi lemak, dan harus mengikuti diet ketat. Dan apabila para penari diketahui mengkonsumsi makanan yang dilarang para pelatih mereka akan diberi hukuman, biasanya hukuman tersebut berupa penambahan jam latihan agar para penari bisa membakar kalori lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa para penari dikondisikan untuk mengubah pola makan dan pengkondisian ini diketahui akan berubah menjadi sebuah perilaku diet di kalangan para penari balet.

Menurut Hawks (2008) perilaku diet adalah usaha sadar seseorang dalam membatasi dan mengontrol makanan yang akan dimakan dengan tujuan untuk mengurangi dan mempertahankan berat badan. Perilaku diet yang ketat diketahui dapat menyebabkan adanya eating disorder yang bisa berdampak negatif pada para penari baik di dalam hal kesehatan fisik maupun di dalam sosial.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengkondisian pola makan dan perilaku diet dapat membuat para penari balet wanita sangat rentan untuk mengembangkan eating disorder (Abraham,et al.,dalam Schluger, 2010). Dalam hal ini definisi dari eating disorders (gangguan makan) adalah suatu sindrom psikiatrik yang ditandai oleh pola makan yang menyimpang, terkait dengan karakteristik psikologis yang berhubungan dengan makan, bentuk tubuh, dan berat badan (Lisal, 2008). Dan apabila ini terus dilakukan oleh dan tidak adanya pencegahan maka semakin tinggi level dari sang penari dan semakin adanya pengkondisian pola makan dan semakin tinggi pula resiko eating disorder., karena diketahui eating disorder yang tidak diatasi secara cepat dan tanggap akan berujung pada hal yang buruk dan salah satunya adalah kematian. Dengan adanya kepedulian untuk mencegah hal tersebut agar tidak terjadi, pengkondisian pola makan yang berujung pada perilaku diet yang ketat harus segera di tindak lanjuti dengan pemberian pengetahuan tentang perilaku diet yang sehat.

Kurikulum dasar sekolah menari yang di adaptasi dari kurikulum Royal Dance Academy yang membagi beberapa murid balet menjadi beberapa tingkatan. Dimulai dari kelas pre-balet yang di khususkan untuk anak usia 3-4 tahun dan berakhir pada kelas vocational graded yang di naungi oleh para penari balet dewasa dan juga para professional. Pada masa awal pembelajaran balet, para siswa dituntut untuk bisa mempelajari dengan matang gerakan dasar dari balet. Pada tingkatan berikutnya atau pada tingkatan general graded para murid akan dihadapkan pada tingkat 1 sampai tingkat 8 dengan memadukan gerakan dasar balet, classical ballet, dan juga pointe work dan menghadapi ujian kenaikan tingkat. Pada akhirnya para murid akan memasuki tingkatan paling tinggi yaitu vocational graded yang di dalamnya dibagi menjadi intermediate foundation, intermediate, Advance foundation, Advance 1 dan Advance2, dengan mengeset seuah learning outcome yang lebih tinggi dibandingkan di dalam general graded, dan diketahui sebagian besar para murid yang sudah masuk kedalam vocational grade berusia 17 atau 18 tahun keatas.

Dilihat dari semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi pula tingkatan pencapaian yang harus diraih oleh para murid. Ada hal ini, para murid balet yang sudah masuk di dalam tingkatan general graded akan dituntut memberikan hasil yang sempurna, dikarenakan adanya penilaian yang di set untuk menguasai beberapa gerakan dasar dan juga koreografi. Sehingga pada hal ini dapat disimpulkan bahwa kecenderungan memberikan performa tari yang sempurna dapat dibentuk pada masa tingkatan general graded yang dimulai dari tingkat 8 keatas. Disisi lain dari hasil observasi langsung, peneliti mendapati bahwa perilaku diet yang ketat di dalam penari balet sudah mulai dapat terlihat pada murid yang berada pada tingkat grade 8 keatas, yang mayoritas murid di grade tersebut berusia remaja sampai dewasa awal. Mereka yang telah berhasil mencapai tingkat Intermediate Foundation (tingkatan professional) adalah para penari yang sudah memiliki ilmu menari balet yang bisa dibilang cukup tinggi, sehingga para pelatih biasanya lebih menekankan untuk para penari memberikan performa yang sempurna pada saat pementasan akan segera berlangsung. Memasuki tingkat ini, para penari dituntut untuk bisa menyelaraskan semua gerakan dasar yang para penari pelajari dari tingkat 1-8 dengan koreografi yang diberikan oleh para pelatih, sehingga kesulitan pada tingkat ini ada pada performa para penari. Pada tingkat selanjutnya yaitu Intermediate Foundation , para penari akan memasuki level professional dan semakin tinggi tingat para penari setidaknya semakin dituntut untuk terus memberikan performa yang sempurna. Penemuan ini juga didukung dengan adanya silabus penilaian dari kurikulum yang dipakai sekolah balet di Indonesia yaitu Royal Dance Academy, yang memiliki katagori penilaian tentang postur dan berat badan tubuh penari. Dari sisi inilah peran eating behavior mempengaruhi adanya resiko eating disorder pada para penari balet.

Menurut Johnson, Steinberg, dan Lewis dalam Schluger (2010) ,thinness (bentuk tubuh yang terlalu kurus) semakin dikaitkan dengan prestasi pribadi,pengendalian diri, otonomi, dan kesuksesan seseorang.Pembentukan perilaku makan bagi para balerina merupakan salah satu cara bagi mereka untuk mencapai kesuksesankarena banyak penari balet percaya bahwa dengan mempunyai berat badan lebih rendah akan meningkatkan skillmenari mereka (Anshel, 2004 ).

Pada hal ini, pemikiran atau persepsi yang melekat pada penari balet membuat mereka menjadi cenderung ingin memberikan performa penampilan yang sempurna, dimulai dari gerakan pertiap step, maupun serangkaian koreografi diatas panggung. Sehingga, secara tidak sadar para penari balet-pun bisa memiliki tingkat perfeksionisme yang sangat tinggi untuk mencapai performa maksimal mereka. Pada hasil wawancara peneliti dengan beberapa rekan penari balet di dapati bahwa sebagian besar penari balet yang sudah memasuki tingkat professional memiliki pendapat apabila semakin ia disiplin untuk terus berlatih dan lebih memperhatikan pola makannya maka ia akan dapat melakukan semua gerakan dengan sempurna.

Dari hasil observasi peneliti mendapatkan bahwa kecemasan tidak memberikan performa yang sempurna melekat kuat di dalam diri penari balet yang berada di tingkat tinggi (diatas grade 8) dibandingkan para penari balet yang masih rendah tingkatannya (dibawah grade 8). Dari hasil observasi dan wawancara yang singkat peneliti dengan rekan penari balet dapat diambil kesimpulan bahwa para penari balet sangat memiliki obsesi untuk menampilkan gerakan atau performa yang sempurna, hal ini sangat menggambarkan adanya tingkat perfectionism di kalangan para penari balet.

Perfeksionis menurut Hewit dan Flett dalam Pranungsari (2010) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi. Faktor yang mempengaruhi munculnya perfeksionisme menurut Peters dalam Pranungsari (2010) adalah adanya bakat alamiah, adanya standar umur mental yang lebih tinggi dari umur kronologis, teman bermain yang lebih tua/dewasa, tingginya pemikiran mengeni kesukasesan yang akan diraih, dan karena pekerjaan yang terlalu mudah.

Dalam masalah tuntutan yang diterima oleh para penari balet tentang penampilan yang sempurna telah menggambarkan bahwa para penari balet memiliki tingkat perfeksionisme yang tinggi. Hal ini membuat mereka akan terus mengejar kesempurnaan secara tidak sadar, apabila di persepsi para penari balet di penuhi dengan performa yang sempurna maka hal ini akan mempengaruhi eating behavior yang akan menimbulkan perilaku diet yang ketat. Hal ini menggambarkan bahwa adanya hubungan terkait tingkat perfeksionisme yang ada di dalam diri penari balet dengan perilaku membatasi makanan (diet) setiap individunya. Terlebih lagi karena perfeksionisme telah banyak diakui sebagai gaya kepribadian terkait dengan eating disorder (Macedo et al, dalam Schluger, 2010), harapan yang tinggi dari atlet dan pelatih mungkin mencerminkan fenomena ini (Kerr, Berman, & Desouza, 2006).Hal ini menunjukkan bahwa peran perfeksionisme pada penari balet terpampang jelas dan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi langsung terhadap perilaku diet yang ketat pada penari ballet.

Berdasarkan masalah tersebut, penting untuk diketahui faktor-faktor yang menyebabkan para penari balet menjaga pola makannya. Dalam kaitan ini menarik untuk diketahui mengenai hubungan antara perfectionism pada skill dengan perilaku diet pada penari balet wanita dewasa awal mengingat dalam kehidupan penari balet dipenuhi oleh tuntutan memberikan performa yang sempurna.

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Apakah ada hubungan perfectionism pada performa menari terhadap perilaku diet di penari balet wanita dewasa awal?

1.3  Tujuan Penelitian

 

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat peran perfectionism pada performa menari terhadap perilaku diet di penari balet wanita dewasa awa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

Dalam bab ini akan dibahas teori mengenai Perfectionism dan perilaku diet.

2.1  Perfectionism

 

2.1.1        Definisi Perfectionism

 

Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett dalam Pranungsari (2010) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perfeksionisme adalah watak atau sifat seseorang yang menganggap sesuatu yang tidak sempurna sebagai hal yang tidak dapat diterima.. Sedangkan menurut pendapat lain (Wikipedia, 2013), perfeksionisme adalah keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna, mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik ataupun non-materi.

Ines dalam Isnaningtyas (2013) mengungkapkan ciri-ciri orang yang perfeksionis, yaitu:

  1. Selalu bekerja dengan sepenuh hati dan totalitas.
  2. Berambisi untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan.
  3. Cenderung memaksakan diri untuk melakukan segalanya, walaupun sebenarnya sudah di luar batas kemampuannya.
  4. Mudah sekali kecewa, jika ada satu atau sedikit kekurangan saja, yang walaupun di mata orang lain biasa saja.
  5. Cenderung sulit untuk rela mendelegasikan tugas atau pekerjaannya kepada orang lain.
  6. Cenderung tidak mudah percaya atau terkadang meremehkan kemampuan orang lain.
  7. Mudah emosi dan sering egois

Selain ciri-ciri di atas, menurut Ines (2010) sikap yang sering ditunjukkan oleh seorang perfeksionis adalah sebagai berikut :

  1. Sangat berkomitmen, bahkan sering berlebihan dan bisa mencapai terobsesi.
  2. Tidak suka mendelegasikan tugas bagi orang lain, atau kurang percaya pada kemampuan orang lain.
  3. Memiliki kesulitan untuk menghitung prioritas dengan sehat.
  4. Memiliki dorongan yang sangat besar untuk mengendalikan segala sesuatu.
  5. Berkompetisi dengan kuat, terdorong untuk menang dalam banyak hal, bahkan untuk hal-hal yang tidak berarti sekalipun.
  6. Memiliki standar yang sangat tinggi, bahkan cenderung tidak realistis.
  7. Sulit untuk fleksibel, cenderung kaku, dan menuntut orang lain dengan menggunakan standar yang tinggi.

Frost dkk., dalam Dunkley (2000) mengkonseptualisasikan perfeksionisme menjadi enam dimensi: (1) excessive concern over making mistakes (ketakutan berlebihan terhadap kesalahan), (2) high personal standards (standar-standar personal yang tinggi), (3) perception of high parental expectations (persepsi bahwa orang tua punya harapan-harapan yang tinggi terhadap diri), (4) perception of high parental criticism (persepsi bahwa orang tua amat kritis terhadap diri), (5) doubt regarding the quality of one’s actions (keraguan tentang kualitas tindakan yang dilakukan), dan (6) preference for order and organization (kecenderungan pada kerapian dan keteraturan).

 

2.1.2        Tipe Perfectionism

 

Hamchek dalam Peters (1996) menjabarkan perfeksionisme dalam dua jenis, yaitu perfeksionisme normal dan neurotik. Perfeksionisme normal dijabarkan sebagai seseorang yang memperoleh perasaan kesenangan atau kenikmatan yang sangat nyata dari usaha kerja yang sungguhsungguh. Sementara perfeksionisme neurotik adalah ketika seseorang tidak dapat merasakan kepuasan, dalam pandangannya mereka tidak pernah terlihat cukup baik sesuai keinginannya.

Perfeksionisme neurotik ini dipaparkan pula oleh Pachts dalam Codd (2001) yang menyatakan sikap perfeksionisme merupakan sikap seseorang untuk mencapai kesempurnaan yang hampa yang membuat seseorang kacau, dan dihubungkan secara signifikan dengan problem psikologi. Problem psikologi tersebut antara lain depresi, anorexia nervosa, bulimia, obsessive-compulsive personality disorder, Type A coronary-prone behavior, migraine, psychosomatic disorder, panic disorder, dan bunuh diri.

Codd dalam Pranungsari (2010) membagi perfeksionisme menjadi dua bagian, yaitu perfeksionisme sehat dan perfeksionisme menyimpang. Perfeksionisme sehat ditunjukkan pada sikap adanya kebutuhan yang kuat untuk tertib dan teratur, menunjukkan penerimaan diri terhadap kesalahan, menikmati harapan tinggi orang tua, menunjukkan coping positif terhadap tendensi perfeksionisme, mempunyai model peran yang mampu menekankan untuk selalu melakukan yang terbaik, dan menunjukkan usaha diri sendiri untuk mendapatkan kesempurnaan. Penyimpangan perfeksionisme ditunjukkan pada kecemasan terhadap kesalahan yang diperbuat, memiliki standar yang terlalu tinggi, merasa orang lain memiliki harapan berlebih dan adanya kritik negatif dari orang lain terhadap dirinya, menanyakan kembali keputusannya sendiri, kehilangan strategi coping yang efektif, dan menunjukkan kebutuhan terhadap izin.

 

 

2.1.3        Sisi Positif dan Negatif Perfeksionisme

 

Menurut Febry dalam Isnaningtyas (2013) perfeksionisme memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah dapat mendorong seseorang untuk dapat menghadapi halangan dan rintangan dalam mengerjakan segala 21 sesuatu. Sisi negatifnya adalah apabila sering menunda-nunda pekerjaan karena ingin mencari kesempurnaan dalam mencapai hasil dari pekerjaan itu.

Sementara itu Renee Baron dan Elizabeth Wagele (2005) mengungkapkan senangnya menjadi tipe perfeksionis adalah :

  1. Disiplin dan mampu menyelesaikan banyak hal
  2. Bekerja keras untuk menjadikan dunia ini lebih baik
  3. Memiliki standar dan etika tinggi, tidak terkecuali bagi diri sendiri
  4. Logis, bertanggung jawab dan berdedikasi dalam segala hal yang di lakukan
  5. Bisa menyatukan fakta-fakta sehingga mendapatkan pemahaman yang baik dan dapat menemukan solusi yang bijaksana
  6. Menjadi yang terbaik sebisa mungkin dan mengangkat sisi terbaik dari diri orang lain

Sedangkan sulitnya menjadi tipe perfeksionis (Renee Baron dan Elizabeth Wagele, 2005) adalah :

  1. Dikecewakan diri sendiri atau orang lain ketika yang diharapkan tak terlaksana
  2. Merasa dibebani tanggung jawab yang terlalu berat
  3. Merasa hal yang dilakukan tak pernah cukup memuaskan
  4. Tidak mendapat penghargaan atas apa yang telah dilakukan untuk orang lain
  5. Kecewa karena orang lain tidak berusaha sekeras saya
  6. Terobsesi atas apa yang telah dilakukan dan yang seharusnya dilakukan
  7. Merasa tegang, gelisah, dan memandang segala hal terlalu serius

2.1.4        Faktor yang mempengaruhi Perfeksionisme

 

Pendapat dikemukakan oleh Tisna Chandra yang dikutip dalam Isnaningtyas (2013) mengungkapkan bahwa asal usul seseorang menjadi perfeksionis adalah :

  1. Meniru orang tua yang perfeksionis

Ada banyak hal yang bisa membentuk anak menjadi perfeksionis. Yang paling utama, orang tua perfeksionis akan menciptakan anak perfeksionis pula. Prosesnya berhubungan erat dengan perilaku anak yang paling menonjol saat balita, yakni kekuatan peniruan. Anak akan meniru dari lingkungannya, terutama lingkungan terdekat, seperti orang tua dan keluarga

  1. Dituntut selalu berdisiplin tinggi

Sejak anak masih bayi, orang tua perfeksionis biasanya menerapkan berbagai aturan yang kaku dan harus selalu dipenuhi. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan sikap anak yang perfeksionis. Bila orang tua meminta anak untuk mematuhi segala peraturan dan tidak boleh sedikit pun melanggarnya, maka wujud perfeksionis akan muncul dengan sendirinya.

  1. Dituntut tanggung jawab di luar kemampuan usia

Anak yang terlalu dituntut bertanggung jawab terhadap halhal di luar kemampuan usianya, secara tidak langsung juga dibentuk berperilaku perfeksionis. Lambat laun, karena terbiasa

  1. Selalu menerima kritik

Demikian pula dengan orang tua yang terlalu banyak mengkritik. Anak akan berusaha tampil atau menghasilkan sesuatu sesempurna mungkin demi menghindari kritikan dan memenuhi kemauan orang tuanya. Bila anak melakukan kesalahan, kemudian berbagai teguran diterimanya, ia akan ketakutan dan berusaha melakukan tugasnya dengan benar. Dengan kata lain, ia tidak akan berhenti mengerjakan atau meminta sesuatu sampai dia merasa terpuaskan.

2.1.5        Aspek-aspek Perfectionism

 

Tiga komponen perfeksionisme menurut Hewit dan Flett yang dikutip dalam Peters (1996) yang mengindikasikan perfeksionisme neurotik adalah:

  1. Self-orientation yaitu adanya standar yang tinggi untuk diri sendiri. Vieth dan Trull (1999) menggambarkan sebagai seseorang yang memiliki standar yang tidak realistik untuk dirinya sendiri dan standar tersebut menjadi sebuah perintah yang keras bagi dirinya untuk mencapai keinginannya. Sikap self-orientation perfectionism ini seperti tidak ingin melihat kesalahan pada pekerjaannya dan selalu menjadi yang terbaik.
  2. Other-orientation yaitu standar yang tinggi untuk orang lain. Vieth dan Trull (1999) menggambarkan seseorang yang menilai secara keras orang lain sesuai standar pribadinya yang tinggi, dan standar tersebut terlalu sulit bagi orang lain. Other-orientation perfectionism ini seperti tidak mengharap bantuan dan tidak percaya terhadap orang lain karena tidak sesuai standar pribadi.
  3. Socially-prescribed yaitu percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan dan memotivasi dirinya. Vieth dan Trull (1999) menggambarkan sebagai perasaan seseorang dimana standar orang lain atas dirinya terhadap tingkah lakunya keterlaluan, dan merasa orang lain menilai dirinya dengan keras. Social-prescribed perfectionism ini seperti merasa keluarganya selalu mengharapkan kesem-purnaan atas dirinya, atau lingkungannya tidak dapat menerima kesalahan-kesalahannya.

2.2  Perilaku diet

 

2.2.1        Definisi Perilaku Diet

 

Diet berasal dari bahasa Yunani, yaitu diaita yang berarti cara hidup. Menurut Hawks (2008) perilaku diet adalah usaha sadar seseorang dalam membatasi dan mengontrol makanan yang akan dimakan dengan tujuan untuk mengurangi dan mempertahankan berat badan.Definisi diet menurut tim kedokteran EGC tahun 1994 dalam Hartantri (1998) adalah kebiasaan yang diperbolehkan dalam hal makanan dan minuman yang dimakan oleh seseorang dari hari ke hari, terutama yang khusus dirancang untuk mencapai tujuan dan memasukkan atau mengeluarkan bahan makanan tertentu. Manurung dalam Wulandari (2000) mengemukakan bahwa perubahan perilaku adalah hal pertama yang harus dilakukan bagi mereka yang ingin menurunkan berat badannya.

2.2.2        Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Diet

 

Menurut Denny Santoso (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku diet adalah :

  1. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi kebutuhan gizi laki-laki biasanya memerlukan kalori lebih banyak karena mempunyai masa otot yang lebih besar daripada perempuan.

  1. Usia

Faktor kedua adalah usia. Kebutuhan gizi remaja berada pada angka yang paling tinggi karena masa ini adalah masa transisi dari kecil menuju dewasa jika kebutuhan gizi remaja tercukupi maka akan menentukan kematangan mereka di umur mendatang.

  1. Aktifitas

Semakin banyak aktifitas yang dilakukan maka angka gizi yang diperlukan semakin banyak. Tentu saja angka kebutuhan gizi seorang mahasiswa berbeda dengan angka kebutuhan gizi tukang bangunan.

2.2.3        Aspek-aspek perilaku diet

 

Aspek diet menurut Herman dan Polivy dalam Ruderman (1986) terdiri dari :

  1. Aspek eksternal

Aspek eskternal mencakup situasi yang berkaitan dengan cara makan dan faktor makan itu sendiri, baik dari segi rasa, bau, dan penampilan makanan. Bagi pendiet, aspek eksternal ini akan lebih bernilai apabila makanan yang tersedia adalah makanan yang lezat.

  1. Aspek emosional

Aspek emosional menunjuk emosi yang lebih berperan dalam perilaku makan adalah emosi negatif, seperti kecewa, cemas, depresi, dan sebagainya. Rasa cemas, rasa takut, dan khawatir yang timbul akan melahirkan sikap yang berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang mengatasi keadaan stres dengan tidur, melakukan berbagai aktivitas fisik seperti olah raga, jalan-jalan, meminum minuman keras, mengkonsumsi obat-obat tertentu atau mengalihkan perhatiannya dengan memakan makanan sesukanya. Khusus untuk memakan makanan sesukanya itu, jika keadaan berlangsung lama dan tidak terkontrol maka akan menyebabkan dampak negatif pada tubuh, terlebih jika makanan yang dimakan banyak mengandung kalori, karbohidrat, dan lemak yang tinggi. Kondisi ini bisa menjadi kebiasaan makan yang salah karena dapat menaikkan berat badan.

  1. Aspek restraint

Istilah restraint menurut kamus kedokteran berarti pengekangan atau pembatasan. Aspek restraint ini kemudian dikembangan oleh Herman dan Polvy (1998: 55) yang mengungkapkan bahwa pola makan individu dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor-faktor psikologis yaitu desakan terhadap keinginan pada makanan dan usaha secara kognitif untuk melawan keinginan tersebut. Usaha secara kognitif inilah yang disebut restraint.

 

2.3  Tahap Perkembangan

 

Hurlock dalam Santrock (2001) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun samapi kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (2001), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).

Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak perkembangan fisik. Perkembangan fisik sesudah masa ini akan mengalami degradasi sedikit-demi sedikit, mengikuti umur seseorang menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal adalah masa dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan bahwa masa remaja dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih mengutamakan kekuatan fisik daripada kekuatan rasio dalam menyelesaikan suatu masalah.

2.3.1        Ciri-ciri Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Aderson dalam Mappiare (1983) terdapat 7 ciri kematangan psikologi, sebagai berikut:

  1. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego; minat orang matang berorientasi pada tugas-tugas yang dikerjakannya,dan tidak condong pada perasaan-perasaan diri sendri atau untuk kepentingan pribadi.
  2. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efesien; seseorang yang matang melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas dan tujuan-tujuan itu dapat didefenisikannya secara cermat dan tahu mana pantas dan tidak serta bekerja secara terbimbing menuju arahnya.
  3. Mengendalikan perasaan pribadi; seseorang yang matang dapat menyetir perasaan-perasaan sendiri dan tidak dikuasai oleh perasaan-perasaannya dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi mempertimbangkan pula perasaan-perasaan orang lain.
  4. Keobjektifan; orang matang memiliki sikap objektif yaitu berusaha mencapai keputusan dalam keadaan yang bersesuaian dengan kenyataan.
  5. Menerima kritik dan saran; orang matang memiliki kemauan yang realistis, paham bahwa dirinya tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik-kritik dan saran-saran orang lain demi peningkatan dirinya.
  6. Pertanggung jawaban terhadap usaha-usaha pribadi; orang yang matang mau memberi kesempatan pada orang lain membantu usahan-usahanya untuk mencapai tujuan. Secara realistis diakuinya bahwa beberapa hal tentang usahanya tidak selalu dapat dinilainya secara sungguh-sunguh, sehingga untuk itu dia bantuan orang lain, tetapi tetap dia brtanggungjawab secara pribadi terhadap usaha-usahanya.
  7. Penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru; orang matang memiliki cirri fleksibel dan dapat menempatkan diri dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya dengan situasi-situasi baru.

2.4  Kerangka Berpikir

Keinginan memberikan performa terbaik di depan penoton dan para pelatih membuat para penari balet memiliki perfectionism. Untuk mencapai performa yang terbaik para penari balet tidak hanya berlatih dengan giat namun harus mengontrol pola makan dengan memunculkan perilaku diet. Aspek-aspek yang diukur dalam perfectionism adalah Self-Orientation, Other-Orientation, dan Socially-prescribed. Sedangakan aspek-aspek dalam pengukuran perilaku diet adalah eksternal, emosional, dan restraint. Ada hubungan antara perfectionism terhadap perilaku diet. Asumsi peneliti perfectionism memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku diet. Berikut merupakan kerangka berpikir yang mendasari dilaksanakan penelitian ini :

ANINDYA NUR2

2.1  Hipotesis

H0:ρ=0                 :TidakterdapathubunganantaraPerfectionisme dengan perilakudiet terkaitperformance menari pada penari balet.

Ha:ρ≠0                :TerdapathubunganantaraPerfectionism dengan

perilakudiet terkaitperformance menari pada penari balet.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aditomo, A., & Retnowati, S. (2004). PERFEKSIONISME, HARGA DIRI, DAN KECENDERUNGAN DEPRESI PADA REMAJA AKHIR . Jurnal Psikologi, 1-14.

Academy, R. D. (n.d.). Examinations. Retrieved from Royal Dance Academy: http://www.rad.org.uk/achieve/exams

Anshel, M. H. (2004 ). Sources of Disordered Eating Pattern Between Ballet Dancers and Non-Dancers . Journal of Sport Behavior, 115-133.

coachup.com. (2014, 12 10). EATING DISORDERS AMONG BALLET DANCERS. Retrieved from http://training.coachup.com/: http://training.coachup.com/cheerleading-dance/dance/eating-disorders-among-ballet-dancer

Dunkley, D., Halsall, K. R., Williams, M., & Winkworth, G. (2000). The Relation Between Perfectionism and Distress; Hassles, Coping, and Perceived Social Support as Mediators . Journal of Conseling Psychology , 437-453.

Gordon , F. L., Kirk , B. R., & Paul, H. L. (2009). Perfectionism, Performance, and State Positive Affect and Negative Affect After a Classroom Test. Canadian Journal of School Psychology , 4-18.

Hadisubrata, M. (1990). Mengembangkan Citra diri yang Positif . Jakarta: Obor .

Hartantri. (1998). Penyesuaian diri menuju remaja. Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Isnaningtyas, C. L. (2013). PERFEKSIONISME SISWA PROGRAM KELAS AKSELERASI. Jogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Mapplare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa . Surabaya : Usaha Nasional .

Murphy, A. T. (2004). DIMENSIONS OF PERFECTIONISM IN DUAL-ROLE WOMEN . Pennylvania: The Pennylvania State University.

Neumaker , K. J., Bettle , N., Neumarker, U., & Bettle, O. (2000). Age-and Gender-Related Psychological Characteistics of Adolescent Ballet Dance . Karger Journal .

Peters, C. C. (1996). Perfectionism. Retrieved from Excellent in Education : www.nexus.edu.au/teachstud/gat/peters.htm

Pranungsari, D. (2010). Kecerdasan dan Perfeksionisme Pada Anak Gifted di Kelas Akselerasi . Humanitas , 35-52.

Pranungsari, D. (n.d.). Hubungan antara Kecerdasan dengan Perfeksionisme pada Anak.

Ruderman, A. J. (1986). Dietary Restraint: A theoritical and Empirical Review . Psychological Buletin , 247-262.

Santoso, D. (2013). Rahasia Diet. BPK Gunung Mulia .

Santrock, J. (2001). Adolescence. New York : McGraw-Hill.

Santrock, J. W. (2012). Perkembangan Masa Hidup . Jakarta: Erlangga .

Schluger, A. E. (2010). Disordered Eating Attitudes and Behaviors In Female College Dance Students; Comparision of Modern Dance and Ballet Dance Majors . North American Journal of Psychology , 117-128.

Susi. (2012). HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DENGAN PERILAKU KONSUMTIF TERKAIT HIGH-HEELS PADA MAHASISWI. JAKARTA.

Tiara, C. (n.d.). Citra Tubuh dan Bentuk Tubuh Perempuan Ideal di Masyarakat . Jurnal Seni ITB , 2 .

Wikipedia. (2013, May 8). Perfeksionisme. Retrieved from Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Perfeksionisme