GAMBARAN KECENDERUNGAN DEPRESI REMAJA YANG MENIKAH

Nurul Dikaturachmi

1601288294

 

 

 

PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

HUMANIORA

2015

JAKARTA BARAT

 

 

Bab I

Pendahuluan

  1. Latar Belakang Masalah

Indonesia termasuk Negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia yaitu menempatkan ranking ke 37 (BKKBN, 2012). Hal ini dikarenakan usia minimum menikah di Indonesia sekitar 16 tahun, seperti yang tercantum didalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 mengenai Perkawinan, pada pasal 7 memaparkan bahwa usia minimal seorang wanita diizinkan menikah adalah 16 tahun. Namun Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memberikan peringatan bahwa wanita sebaiknya menikah di atas usia 20 tahun dan pria pada 25 tahun, hal ini disebabkan pasangan yang menikah muda emosinya cenderung menggebu-gebu dan lebih mudah menghadapi depresi. Hal itu dipicu oleh berbagai macam masalah yang jauh lebih besar melainkan saat masih bersekolah (Detik.com).

Menurut Siregar (dalam RRI.co.id) menyatakan bahwa perempuan yang berumur 15-19 tahun itu sudah menikah pada interval umur itu. Sekarang sedang tinggi di Indonesia, hampir 50 % dari 2,5 juta pernikahan per tahun itu adalah kelompok usia di bawah 19 tahun. Mereka disebut sebagai kelompok usia pernikahan dini. Ada yang mulai dari angka 11, 12 sampai 19, tapi kelompok yang terbanyak itu ada di usia 15 tahun sedangkan di usia 19 tahun berkisaran sekitar 48 %.

Hurlock (1994) mengatakan bahwa dibandingkan dengan kelompok anak dan orangtua, masa remaja merupakan masa yang paling berat. Masa ini merupakan masa yang penuh banyak perubahan, baik secara anatomis, fisiologis, fungsi emosional dan intelektual serta hubungan di lingkungan sosial.

Depresi sendiri merupakan salah satu ciri yang sering muncul pada remaja, khususnya pada remaja perempuan (Santrock, 2003), kemudian pengertian dari depresi diperjelas dengan pernyataan menurut Lewinson, Gotlib, & Seeley (1994) remaja perempuan secara konsisten memperlihatkan tingkatan gangguan depresif dan masalah suasana hati yang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki (dalam buku Santrock, 2003).

Menurut Nolen-Hoeksema & Girgus (1994), Nolen- Hoeksema, Girgus, & Seligman (1992) beberapa di antara alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan perbedaan dengan kedua jenis kelamin ini antara lain ialah Perempuan cenderung akan merenung didalam suasana hati mereka dengan tertekan dan semakin menguatkan suasana hati tersebut, sementara laki-laki cenderung mengalihkan perhatian mereka dari suasana hati mereka. Gambaran diri yang dimiliki oleh remaja perempuan, terutama mengenai tubuh mereka, seringkali lebih negatif dibandingkan gambaran diri laki-laki di masa remaja; dan masyarakat lebih sering bersikap berat sebelah dan tidak memihak pada perempuan (dalam buku Santrock, 2003).

Individu yang depresi tidak lagi merasakan bergairah dengan menghadapi hidup dan akhirnya perasaan hambar mewarnai pandangan hidupnya. Individu ini mulai membatasi lingkungan pergaulan dengan orang lain dan kehilangan semangat dalam melaksanakan tanggung jawab sehari-hari (Khan, 2012).

Pada penelitian sebelumnya (Pujiastuti & Retnowati, 2004) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan memberikan pengaruh terhadap tingkat depresi pada subjek dengan sumbangan sebesar 20%, hal ini dikatakan bahwa pernikahan yang bahagia dan harmonis ikut berperan serta dalam meredam depresi yang mungkin timbul akibat berbagai masalah yang dihadapi oleh subjek.

Depresi merupakan respon yang normal terhadap berbagai stres kehidupan. Depresi dikatakan tidak normal apabila depresi tersebut melebihi proporsi dalam merespon terhadap suatu kejadian dan akan terus berlanjut melebihi batas dimana kebanyakan orang sudah pulih kembali (Atkinson, 2012).

Pernikahan muda sering terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan Paxman dalam Sarwono, 1994), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang (dalam buku Adhim, 2002).

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti melihat remaja juga sering dikaitkan dengan mengalami kecenderungan depresi dalam kehidupannya disebabkan masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak yang masih bergantung kepada orang tua menjadi individu yang mandiri. Sehingga peneliti akan melihat gambaran kecenderungan depresi pada remaja yang menikah.

  1. Rumusan Masalah Penelitian

Hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecenderungan depresi pada remaja yang menikah.

  1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecenderungan depresi pada remaja yang menikah.

 

 

 

Bab II

Landasan Teori

 

  1. Depresi

Atkinson (1996) menjelaskan bahwa depresi merupakan respon yang normal terhadap berbagai macam stres di kehidupan. Depresi dikatakan tidak normal jiks depresi tersebut melebihi proporsi dalam merespon terhadap suatu kejadian dan terus berlanjut melebihi batas dimana kebanyakan orang sudah pulih kembali. Menurut Emery dan Oltmanns (2000), depresi berbeda dengan perasaan sedih biasa yang bersifat universal sebagai respon dari keadaan yang secara subjektif tidak menyenangkan. Depresi dapat mengacu pada simtom (perasaan sedih yang subjektif), mood (kekecewaan dan kehampaan yang berlarut-larut), atau pada sindroma klinis (keberadaan depresi disertai dengan adanya simtom emosional, kognitif, dan tingkah laku. Beck (dalam Kring dkk., 2007) mengemukakan bahwa depresi dapat terjadi dikarenakan seseorang secara terus menerus memikirkan segala sesuatu dengan cara yang negatif. Pemikiran negatif ini muncul dengan tanpa disadari, dan pada kasus depresi yang lebih ekstrem, pikiran negatif ini menyebabkan kesulitan berkonsentrasi dan menjalani aktivitas sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan perasaan sedih yang mendalam dan dialami secara terus-menerus oleh individu sehingga menyebabkan kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

  1. Faktor- faktor penyebab depresi

Depresi diduga disebabkan oleh berbagai hal mulai dari faktor biologis, seperti pengaruh gen dan proses biokimia dalam tubuh, sampai faktor sosiokultural (Kesley dalam Duffy & Atwater, 2005) Dalam Kring dkk. (2007) disebutkan bahwa depresi disebabkan oleh beberapa faktor, dari faktor neurobiologis sampai faktor psikososial, dan dapat juga disebabkan dari kombinasi dari beberapa faktor tersebut.

Menurut pandangan sosial, munculnya gangguan depresi dapat dipicu oleh hal-hal seperti kehilangan, kekecewaan, dan perpisahan. Inti dari pandangan sosial adalah depresi terjadi karena dipengaruhi berbagai kejadian pemicu stress yang dialami setiap orang, mulai dari kehilangan orang-orang yang disayangi melalui perpisahan atau kematian, kehilangan peran yang dianggap penting (seperti dipecat dari pekerjaan), kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan, adanya permasalahan dalam hubungan interpersonal, dan sebagainya (Emery & Oltmanns, 2000). Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kejadian pemicu stress dengan depresi tidak hanya terjadi satu arah, namun dapat terjadi akibat dari hadirnya kejadian pemicu stress, sekaligus dapat pula menjadi sebab dari berbagai kejadian pemicu stress (Emery & Oltmanns, 2000).

Faktor biologis juga berperan dalam depresi. Menurut pandangan biologis, faktor biologis dapat mempengaruhi regulasi mood (Emery & Oltmanns, 2000). Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, faktor genetis atau hormon berhubungan dengan munculnya depresi.

Para tokoh aliran kognitif menekankan bahwa depresi terjadi karena manusia bukan hanya seorang makhluk sosial, tetapi juga makhluk pemikir, dan cara manusia berpikir serta mempersepsikan dunianya mempengaruhi apa yang mereka rasakan (Emery & Oltmanns, 2000).

 

 

 

  1. Remaja

Di negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan “adolesence” yang berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolencentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau sedang mengalami perkembangan masa dewasa (Desmita, 2009). Menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2005), adolesence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh (Santrock, 2007) Masa remaja merupakan masa yang sangat dinamis dalam tahapan kehidupan manusia yang ditandai berbagai percepatan bagi individu yang bersangkutan, baik dalam perkembangan fisik, kognitif, afektif, moral, maupun sosialnya (Santoso, 2011).

  1. Batasan Usia Remaja

Santrock (2003) membagi rentang usia remaja menjadi remaja awal yang dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir (Remaja Akhir) dengan rentan usia 18 sampai 22 tahun.

  1. Perkembangan Remaja
  2. Perkembangan Fisik Remaja

Menurut Santrock (2003) Kurva pertumbuhan organ reproduktif berubah lebih dramatis dibandingkan dengan kurva tinggi dan berat badan. Tahap prapubertas dari perkembangan organ reproduktif seolah-olah tidak aktif, tetapi untuk tahap remaja kurvanya tampak lebih tajam dibandingkan dengan kurva tinggi dan berat badan. Hal ini terletak pada analisis pengaruh kegiatan kelenjar dan horman. Kelenjar dan hormon yang mengontrol pertumbuhan tulang dan otot tidak sama dengan kelenjar dan hormon yang mengatur fungsi reptoduksi. Ekstrogen adalah hormon yang terdapat pada perempuan. Baru-baru ini para peneliti menemukan jenis hormon estrogen tertentu yang meningkat kuat selama masa pubertas. Hormon tersebut adalah estradiol yaitu jenis estrogen yang berperan penting pada perkembangan pubertas perempuan.

Menurut Santrock (2003) salah satu aspek psikolgis dari perubahan fisik dimasa remaja adalah remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citranya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampaknya. Perhatian yang berlebihan terhadap citra tubuh sendiri, amat kuat pada masa remaja, terutama amat mencolok selama masa pubertas, saat remaja lebih tidak puas akan keadaan tubuhnya dibandingkan dengan akhir dengan akhir masa remaja (Hamburg & Wright, dalam Santrock 2003).

  1. Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) menekankan bahwa remaja terdotong untuk memahami dunianya karena ketindakannya itu merupakan penyesuaian diri biologis. Dalam pandangan Piaget, remaja membangun dunia kognitifnya sendiri. Informasi tidak hanya tercurah dalam benak mereka dari lingkungan. Untuk memahami dunianya, remaja mengorganisasikan pengalaman mereka. Mereka memisahkan gagasan yang penting dari yang kurang penting. Mereka mngaitkan satu gagasan dengan yang lainnya. Mereka bukan hanyan mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman mereka, tetapi juga menyesuaikan cara pikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih dalam. Piaget percaya bahwa remaja menyesuaikan diri dengan dua cara, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi (assimilation) terjadi ketika sesorang menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan yang sudah dimilikinya. Akomodasi (accommodation) terjadi ketika seseorang menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru.

Banyak remaja muda yang mulai baru berpikir secara operasional formal. Saat akhir masa remaja, banyak remaja yang mulai memantapkan pemikiran operational formalnya, dan menggunakannya dengan lebih konsisten. Selain itu sering kali ada variasi pada keluasan isi pemikiran operational formal mereka, seperti variasi yang jukga tampak pada pemikiran operational konkret dimasa kanak-kanak. Pada tahap ini, menurut Piaget (dalam Ali & Asrori, 2005) interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Anak juga sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi, mereka juga dapat mengerti arti simbolik dan kiasan.

  1. Perkembangan Psikososial Remaja

Menurut Papalia et al (2009), masa remaja adalah waktu dimana berbagai kesempatan sekaligus resiko datang. Remaja berada dalam ambang cinta, pekerjaan untuk menghidupi dirinya, dan keikutsertaan dalam lingkungan orang dewasa. Akan tetapi, masa remaja juga masa dimana beberapa remaja terlibat perilaku yang menutup berbagai pilihan dan membatasi peluang mereka. Menurut Eriksen (dalam Papalia et al, 2009), tugas utama dari masa remaja adalah menghadapi krisis dari identitas versus kekacauan identitas atau identitas versus kekacauan perasn untuk menjadi orang dewasa yang unik dengan pemahaman diri sendiri yang koheren dan memiliki peran yang bernilai dalam masyarakat.

 

Menurut Ali & Asrori (2005) hubungan sosial dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang lebih luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak, dan yang terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak. Dalam lingkungan keluarga, anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Dalam lingkungan sekolah, anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan masyarakat, anak dihadapkan dengan berbagai situasi dan masalah kemasyarakatanya.

Dalam perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Perkemabangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya.

  1. Perkawinan

Perkawinan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya setempat dimana sepasang individu menikah. Pengertian menurut UU Perkawinan No 1 Pasal 1 tahun 1974 (internet) di Indonesia adalah:

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  1. Pernikahan Dini di Indonesia

Berdasarkan tahap perkembangan, pernikahan terjadi pada tahap dewasa awal, tetapi fenomena yang terjadi belakangan ini pernikahan terjadi di usia remaja. Maraknya pernikahan dini di Indonesia.

Pernikahan dini merupakan gambaran rendahnya kependudukan dan terjadi fenomena sendiri. Akibat yang timbul di tingkat keluarga beragam dan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Respon atas masalah penikahan dini masih sebatas isu dan belum menjadi kebijakan di Indonesia (BKKBN, 2012).

 

  1. Kerangka Pikiran

 

—–                                       —–

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REFERENCES

Adhim, M. F. (2002). Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Press.

Ali, M. & Asrori, M. (2008). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

 

Atkinson, R.L., Atkinson R. E. & Hilgard, E. R. (1996). Pengantar Psikologi Jilid 2 (edisi ke-8) Terjemahan Nurdjannah & Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.

 

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Edisi Ke lima. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

Emery, R. E. & Oltsmanns, T. F. (2000). Abnormal Psychology (3rd ed.). New York: Prentice-Hall.

 

Hestianingsih. (2012). Yang Perlu Diwaspadai Ketika Menikah Muda. Detik.com. retrived from http://wolipop.detik.com/read/2012/07/06/093107/1958993/854/1/yang-perlu-diwaspadai-ketika-menikah-muda

 

Kring, A. M., Davidson, G. C., Neale, J. M., & Johnson, S. L. (2007). Abnormal Psychology (10th ed.).

 

Papalia., Olds., & Feldman. (2009) Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan masa remaja edisi keenam. Alih Bahasa: Shinto B. Adelar dan Sherly saragih. Jakarta: Erlangga.

 

Zukhal, Farida. (2014). Angka Pernikahan Dini di Indonesia Meningkat Tajam. RRI.co.id. Retrived From http://www.rri.co.id/surabaya/post/berita/81265/sosial/angka_pernikahan_dini_di_indonesia_meningkat_tajam.html