HUBUNGAN ANTARA COMMUNICATION APPREHENSION DENGAN SELF-EFFICACY PADA MAHASISWA BINUS UNIVERSITY DI JAKARTA

Mira Kiranti-1601246360

BAB I

PENDAHULUAN

 1.1 LATAR BELAKANG

Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Bidang pendidikan tidak bisa berjalan tanpa dukungan komunikasi, bahkan pendidikan hanya bisa berjalan melalui komunikasi (Jourdan, 1984). Komunikasi merupakan sarana untuk terjalinnya hubungan antar seseorang dengan orang lain, dengan adanya komunikasi maka adanya hubungan sosial, karena manusia itu adalah makluk sosial, di antara yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, sehingga terjadinya interaksi yang saling bergantungan. Dalam prosesnya bahwa komunikasi merupakan suatu proses sosial untuk menyampaikan perasaan atau informasi, baik yang berupa ide-ide atau gagasan-gagasan dalam rangka mempengaruhi orang lain. Komunikasi menggambarkan bagaimana cara seorang individu berinteraksi di lingkungan dari mengumpulkan masalah, mempresentasikan, hingga menyelesaikan konflik. Dalam dunia perkuliahan seorang mahasiswa diharapkan dapat menjadi pembicara, pendengar, dan pengguna media yang kompeten dalam situasi personal dan sosial, dalam kelas, di tempat kerja, dan anggota masyarakat. Di dalam setting kelas, esensi dari proses belajar mengajar adalah komunikasi, yang terdiri dari interaksi verbal dan non-verbal antara dosen dan mahasiswa maupun mahasiswa antar mahasiswa (Connor, 1996).

Komunikasi memegang peranan dalam pemantapan pembelajaran dan perilaku yang diharapkan, hubungan interpersonal antara guru dan siswa, dan penyampaian instruksi, termasuk didalamnya bertanya, memuji, dan umpan balik individu (Elliot, Kratochwill, Little Cook & Travers, 2000). Komunikasi dan interaksi di dalam kelas sangat menentukan efektivitas dan mutu pendidikan (Arismunandar, 2003).Melakukan presentasi, diskusi antar kelompok, bertanya kepada dosen merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas. Mahasiswa dituntut untuk bisa berbicara di depan kelas dan mengungkapkan ide secara lisan. Demikian pula pada seluruh mahasiswa Binus University, setiap fakultas/jurusan dituntut untuk memiliki kemampuan berbicara baik dalam situasi personal maupun di depan umum. Untuk memenuhi tutntutan tersebut metode pembelajaran di Binus University banyak menggunakan sistem diskusi dan presentasi dalam kelompok guna membiasakan mahasiswa untuk berbicara depan umum. Namun dalam melakukan komunikasi tidak jarang mahasiswa mengalami rasa cemas untuk mengungkapkan ide dalam suatu diskusi kelompok, bertanya pada dosen, dan melakukan presentasi di dalam kelas. Kegiatan tersebut menuntut mahasiswa untuk bisa berbicara di depan umum dan ketika mahasiswa mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang merupakan salah satu bentuk dari hambatan komunikasi (communication apprehension).

Communication apprehension sebagai suatu bentuk reaksi negative dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. (Burgoon dan Ruffner, dalam Dewi & Andrianto, 2003). Communication apprehension sebagai tingkat kecemasan individu yang diasosiasikan dengan salah satu komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang diharapkan dengan individu lain maupun dengan orang banyak. (McCroskey, dalam Byers dan Weber 1995). Motley (dalam Byres dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum. Kecemasan berbicara di depan umum dikatakan sebagai salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh warga Amerika. Motley menyatakan bahwa sekitar 85% dari kita mengalami kecemasan yang tidak menyenangkan berkenaan dengan berbicara di depan umum tersebut. Pada 15% sampai 20% mahasiswa Amerika, ketakutan ini melemahkan dan sangat mengganggu pekerjaan individu.

McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis Communication Apprehension yaitu: Communication Apprehension (CA), CA as a trait, CA in generalized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan bebicara pada saat berada pada situasi tertentu, tapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan berbicara di depan umum dengan istilah “Communication Apprehension”. Beaty menjelaskan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang sebagai hasil dari proses belajar social.

Penanganan kecemasan antara satu individu dengan individu lainnya dapat berbeda tergantung pada penilaian pribadi individu terhadap kemampuan yang dimilikinya yang disebut self-efficacy (Sarafino, 1994). Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memproleh hasil yang positif. Self-efficacy memainkan peranan besar dalam hal bagaimana sesorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan. Menurut Prakosa (1996) keyakinan terhadap diri sendiri sangat  diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan individu dalam mengambil tindakan, pengerahan usaha, dan keuletan individu. Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berguna untuk melatih control terhadap stressor, yang berperan penting dalam keterbangkitan kecemasan. Ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka biasanya mereka mempunya self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesusksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari Feist & Feist (2002). Berdasarkan dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan.

Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Binus University dari berbagai Fakultas/Jurusan yang berbeda. Mahasiswa adalah serta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Basir 1992, dalam Astrid Indi 2009). Menurut Winkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII. Mahasiswa termasuk pada masa Dewasa Awal yaitu,  masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental ege-nya. Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis.

Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain). Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 25 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik(physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).

Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya. Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak perkembangan fisik. Perkembangan fisik sesudah masa ini akan mengalami degradasi sedikit-demi sedikit, mengikuti umur seseorang menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal adalah masa dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan bahwa masa remaja dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih mengutamakan kekuatan fisik daripada kekuatan rasio dalam menyelesaikan suatu masalah.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan antara communication apprehension dan self-efficacy pada mahasiswa Binus University di Jakarta.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat hubungan antara communication apprehension terhadap self-efficacy pada mahasiswa Binus University?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujun dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara communication apprehension dengan self-efficacy pada mahasiswa Binus University di Jakarta.

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COMMUNICATION APPREHENSION

Burgoon dan Ruffner (dalam Anwar, 2008) mendefinisikan communication apprehension sebagai bentuk reaksi negative dari individu berupa kecemasan yang di alami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi umum atau komunikasi massa.

Communication apprehension sebagai tingkat kecemasan individu yang diasosiasikan dengan salah satu komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang diharapkan dengan individu lain maupun dengan orang banyak. (McCroskey, dalam Byers dan Weber 1995). Motley (dalam Byres dan Weber, 1995) menegaskan bahwa ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, mungkin adalah bentuk communication apprehension yang paling umum.

2.2 SELF-EFFICACY

 Self-efficacy adalah keyakinan yang di pegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1977). dalam teori social kognitif, Bandura  (1986) menyatakan bahwa self-efficacy ini membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Schulzt (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Baron dan Byrne (2000) mengemukakkan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetisinya untuk melakukan suatu tugas, mecapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang ia hadapi, sehingga ia mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya. Self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu self-efficacy tinggi dan self-efficacy rendah. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi mereka cendrung tidak memandang suatu tugas sebagai ancaman yang harus mereka hindari sesulit apapun tugas tersebut. Self-efficacy rendah merupakan kebalikan dari yang tinggi individu yang memiliki self-efficacy rendah cendrung menghindari tugas dan menganggap tugas merupakan suatu ancaman untuk individu tersebut.

2.3 MAHASISWA

Mahasiswa adalah serta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Basir 1992, dalam Astrid Indi 2009). Menurut Winkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII.

2.4 KERANGKA BERPIKIR

anisa