ANALISA HUBUNGAN ANTARA COPING STRATEGY DAN PERILAKU AGGRESSIVE DRIVING PADA MAHASISWA DKI JAKARTA

Joshua Glen Wibowo-1601215494 

Bab I

Pendahuluan

 

1.1         Latar Belakang

Kegiatan sehari-hari masyarakat DKI Jakarta dipenuhi oleh aktivitas di jalan raya. Sebagian besar waktu yang dimiliki setiap orang berlalu di jalan raya pada saat berkendara, baik menggunakan  kendaraan umum maupun pribadi. Direktorat Jendral Perhubungan Darat, pada websitenya ‘Urban Transport Information Center’ (UTIC)  pada tahun 2010 silam memaparkan data kerugian yang dicapai akibat waktu yang terbuang di jalan raya yaitu sebesar Rp 2,5 triliun.  Angka tersebut sekaligus mengartikan bahwa jalan raya merupakan peran penting yang tidak dapat lepas dari kegiatan masyarakat DKI Jakarta.

Ironisnya, setiap hari terjadi kecelakaan di jalan raya. Kecelakaan di jalan raya terutama didominasi oleh kendaraan bermotor yaitu sepeda motor. Berdasarkan himpunan data POLRI yang dipaparkan oleh Drektorat Jendral Perhubungan Darat (DITJEN HUBDAT), jumlah kecelakaan tertinggi berdasarkan jenis kendaraan pada tahun 2013 yaitu sejumlah 119.560 unit dengan jenis kendaraan sepeda motor. Artinya setiap hari terjadi sedikitnya 327 peristiwa kecelakaan sepeda motor. Hal ini juga didukung oleh tingginya angka kepemilikan kendaraan sepeda motor yang semakin meningkat setiap tahunnya dengan angka 83.390.073 unit di tahun 2013.

Korban kecelakaan sepeda motor didominasi oleh masyarakat usia produktif yaitu 16 – 30 tahun dengan rentang pendidikan SMA sampai dengan perguruan tinggi dengan jumlah korban sebanyak 67.789 jiwa di tahun 2013 (DITJEN HUBDAT, 2014). Banyaknya korban usia produktif tersebut tentu menjadi sebuah kerugian tersendiri bagi Negara Indonesia.

KECELAKAAN KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN JENIS KENDARAAN

TAHUN 2009 – 2013

No. Uraian Satuan TAHUN PERTUMBUHAN RATA RATA %
2009 2010 2011 2012 2013
1 Mobil PNP unit  18.939 2.474 25.245 28.475 21.304 4,65
2 Mobil Barang unit 16.363 19.590 21.951 24.793 21.335 7,69
3 Mobil Bus unit 4.586 5.374 5.881 6.601 4.893 3,25
4 Spd. Motor unit 106.969 133.568 154.636 179.534 119.560 5,83
Jumlah unit 146.857 181.06 207.713 239.403 167.092 5,76

POLRI 2014, oleh DITJEN HUBDAT 2014.

 

Fenomena kecelakaan sepeda motor di jalan raya tentu memiliki penyebab. Kementrian Perhubungan RI menjelaskan faktor-faktor penyebab kecelakaan kendaraan bermotor yaitu; kondisi sarana dan prasarana transportasi (transportasi umum, pribadi, jenis kendaraan), faktor manusia (pengemudi, pejalan kaki, dan pemakai jalan lainnya), serta faktor lingkungan/alam. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kelalaian manusia atau sering disebut dengan istilah human error adalah faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas (DITJEN HUBDAT, 2013). Pembahasan ini akan berfokus kepada faktor penyebab manusia yaitu human error tepatnya pengemudi jenis kendaraan sepeda motor, dengan catatan tanpa menghiraukan faktor-faktor lainnya.

Sepeda motor memiliki ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kendaraan-kendaraan lain pada umumnya. Ukuran yang lebih kecil memungkinkan pengendara untuk dapat berkendara dengan lebih lincah di antara kendaraan-kendaraan lainnya, namun kelincahan tersebut seringkali membuat kendaraan-kendaraan lain sulit untuk menyesuaikan cara berkendara. Gaya berkendara sepeda motor yang sering ditemui di jalan raya misalnya mengebut, menyalib kendaraan lain, membunyikan dan menahan klakson, memainkan lampu sorot, memberikan gestur-gestur tubuh tertentu yang memprovokasi, sampai dengan pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas yang disengaja. Perilaku-perilaku tersebut tergolong sebagai perilaku berkendara yang agresif atau aggressive driving (John M. Houston, 2003).

Menurut John M. Houston, dkk. (2003) dalam jurnalnya mengenai skala pengukuran perilaku berkendara yang tidak aman, perilaku aggressive driving seringkali adalah buah hasil dari dua hal utama yaitu strategi penyesuaian diri (coping strategy) yang melibatkan pola kognitif dan emosi tertentu serta respon-respon perilaku yang dipicu oleh lingkungan berkendara (John M. Houston, 2003). Lingkungan berkendara dapat mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku saat sedang berkendara, dalam hal ini akan mempengaruhi bagaimana cara mereka berkendara. Perilaku aggressive driving seringkali muncul sebagai suatu respon perilaku terhadap lingkungan sekitar yang ingin dikomunikasikan oleh pengendara kepada pengendara lain (Nutter, 2002).

Keadaan lingkungan berkendara dapat memberikan tekanan-tekanan atau stress tersendiri bagi pengendara, dalam hal ini terdapat stressor berupa situasi-situasi yang bersifat mengancam sehingga dapat memprovokasi pengendara untuk memunculkan agresi. Stress juga dapat menurunkan performa berkendara dan menyebabkan kurangnya keamanan berkendara yang cenderung berakibat kecelakaan lalu lintas (Gerald Matthews, 1999). Ibu Kota Jakarta memiliki jumlah kepadatan penduduk yang tinggi dan diikuti oleh angka pengangguran yang tinggi pula. Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2013 tercatat sebanyak 10,09 juta jiwa dengan angka pengangguran yang mencapai lebih dari 513 ribu jiwa  menyandang status pencari pekerjaan pada Febuari 2013 silam (BPS,2013). Kedua fakta tersebut sedikit banyak mempengaruhi situasi keamaan di DKI Jakarta. Salah satu studi analisis mengenai faktor-faktor penyebab kriminalitas menyatakan bahwa kriminalitas didorong oleh faktor kebutuhan ekonomi dan status pengangguran (Siti Maslichah, 2012).

Kriminalitas menjadi faktor ancaman tersendiri yang dapat memberikan stress kepada setiap pengendara sepeda motor. Salah satu contoh nyata yang akhir-akhir ini sering terjadi adalah aksi kriminal begal atau pencurian kendaraan bermotor dengan cara merampok paksa menggunakan kekerasan. Tindak kriminal tersebut telah banyak memakan korban luka-luka bahkan meninggal dunia. Banyak orang menjadi takut dan waspada secara berlebihan ketika berkendara di jalan raya. Situasi-situasi di jalan raya tersebut tentu menjadi suatu pertimbangan tersendiri yang akan berpengaruh terhadap bagaimana perilaku seseorang saat berkendara. Selain kriminalitas, kepadatan lalu lintas yang sudah tidak asing lagi bagi para pengendara di Jakarta juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para pengendara sepeda motor. Cuaca yang panas, kemacetan yang parah, kebisingan yang tinggi, semua hal ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman (stress) yang dapat membuat pengendara sepeda motor menjadi sensitif dan mudah untuk memunculkan perilaku agresivitas dalam berkendara.

Perlu dilakukan sebuah tindakan pencegahan yang terarah agar dapat mengurangi terjadinya siklus agresivitas antar pengendara yang dipicu oleh stress dari situasi lingkungan berkendara di DKI Jakarta. Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta mengenai situasi lalu lintas di DKI Jakarta seperti dijelaskan diatas, studi ini bermaksud untuk menganalisa hubungan antara kemampuan menyesuaikan diri (coping skill) pengendara sepeda motor usia produktif DKI Jakarta dengan perilaku aggressive driving yang dimunculkan.

 

1.2        Rumusan Masalah

Dibalik semua peristiwa kecelakaan terdapat faktor human error, dalam hal ini pengendara sepeda motor. Faktor human error menjadi penting karena pada dasarnya manusia memiliki kapasitas tertentu dalam dirinya masing-masing. Pengedara sepeda motor akan dihadapkan kepada berbagai macam situasi lingkungan berkendara secara sekaligus sehingga dapat menimbulkan stress tersendiri. Stress tersebut dapat membuat pengendara menjadi lebih sensitif dan mudah untuk memunculkan perilaku aggressive driving.     Penyebab stress (stressor) di jalan raya dapat meliputi antara lain; suara yang berisik, gaya berkendara pengendara sepeda motor lainnya, cuaca yang panas, dan lainnya. Pengendara sepeda motor harus dapat mengelola semua stress dengan baik untuk dapat berkendara dengan baik dan aman.

 

1.3        Tujuan Penelitian

  • Menganalisa hubungan antara kemampuan coping strategy pengendara sepeda motor mahasiswa DKI Jakarta dengan perilaku aggressive driving yang dimunculkannya.

 

Bab 2

Tinjauan Pustaka

 

2.1         Agresi

Agresi adalah suatu perilaku yang dimunculkan seseorang untuk memberikan dampak merugikan terhadap orang lain (Aronson, E., 2010). Aronson dkk. (2010) dalam bukunya juga menjabarkan sua macam agresi yaitu hostile dan instumental aggression.

  1. Hostile Aggression

Agresi ini didefinisikan sebagai agresi yang diawali oleh amarah yang kemudian diikuti oleh perilaku-perilaku tertentu yang ditujukan untuk menyakiti orang lain. Pada dasarnya, agresi ini dilakukan seseorang sebagai wujud luapan amarah yang dimilikinya (Aronson, E., 2010).

 

  1. Instrumental Aggression

Agresi ini dimunculkan seseorang sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan tertentu (Aronson, E., 2010). Agresi instrumental muncul pada fenomena agresi pengendara sepeda motor dalam berlalu lintas. Pengendara sepeda motor menggunakan agresi sebagai alat untuk menghilangkan rasa tidak menyenangkan akibat stress yang diterima dari lingkungan pengendara (Nutter, 2002).

Pada abad ke 17, seorang filsuf bernama Thomas Hobbes memandang manusia sebagai makhluk hidup yang mementingkan keadaan dirinya sendiri sehingga tidak sungkan untuk melakukan kekerasan atau agresi terhadap orang-orang disekitarnya demi tercapainya keadaan baik untuk dirinya sendiri (Aronson, E., 2010).

2.2         Aggressive Driving

Menurut John M. Huston, dkk. (2003) perilaku yang tergolong sebagai aggressive driving yaitu meliputi hal-hal seperti mengebut, memainkan klakson, memainkan lampu sorot, membuntuti, dan menyalib jalur kendaraan lain. Oxford Dictionaries online menjelaskan masing-masing istilah tersebut sebagai berikut:

  1. Mengebut (Speeding)

Mengebut adalah mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, melebihi batas yang seharusnya . Hal ini dapat bergantung situasi dan kondisi lalu lintas dan jalanan serta berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut.

  1. Memainkan Klakson (Honking)

Perilaku memainkan klakson dapat dideskripsikan sebagai perilaku menekan/membunyikan secara berkala dan/atau membunyikan dan menahan klakson sehingga mengeluarkan suara yang panjang. Biasanya pengemudi melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk memberitahukan kendaraan lain agar menyingkir dari jalur pengendara.

  1. Memainkan Lampu Sorot (Flashing Lights)

Sama halnya dengan memainkan klakson, lampu sorot kendaraan bermotor juga seringkali menjadi alat untuk memberi tanda /pesan kepada pengendara lain untuk menyingkir dari jalur pengedara. Lampu sorot dapat dinyalakan sesekali atau secara terus menerus sampai kendaraan lain menyingkir.

  1. Menyalib (Overtaking)

Menyalib dapat dideskripsikan sebagai perilaku mendahului kendaraan yang berada di depan kita dan secara sengaja berpindah ke jalur pengendara tersebut sehingga posisi kendaraan kita berada di depan kendaraan tersebut. Perilaku ini sering muncul bersamaan dengan perilaku mengebut.

  1. Membuntuti (Tailgating)

Pengendara, dengan tujuan yang sama sering mengkombinasikan perilaku membuntuti kendaraan lain dengan memainkan klakson, lampu sorot, hingga akhirnya mengebut dan menyalib kendaraan lain yang menghalangi jalur pengendara tersebut.

 

2.3         Stress

Stress dapat didefinisikan secara berbeda-beda. Secara ilmu psikologi, stress didefinisikan sebagai sebuah perubahan kimiawi, fisik, perilaku, dan psikologi seseorang yang disebabkan oleh lingkungan sekitarnya. Lazarus (1978) dalam Ogden (2004) menjelaskan stress sebagai transaksi antara individu dan lingkungannya. Sedangkan King, L.A. (2011) menjelaskan stress sebagai sebuah respon individu terhadap situasi yang mengancam dan memunculkan kemampuan untuk menyesuaikan diri (coping skill). Situasi mengancam yang menyebabkan stress tersebut merupakan sebuah stressor yaitu hal-hal yang menyebabkan atau memicu terjadinya stress. Ilmuan juga membagi stress berdasarkan kegunaannya yaitu eustress dan distress. Eustress merupakan stress yang bermanfaat sedangkan distress merupakan stress yang merugikan  (Ogden, 2004).  Stress dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu:

2.3.1        Acute Stress

Stress akut merupakan stress yang terjadi karena disebabkan oleh ancaman yang terjadi secara tiba-tiba sehingga cenderung menghasilkan stress yang cukup tinggi. Namun pada saat ancaman hilang, maka stress pun akan menghilang. Manusia dapat beradaptasi dengan jenis stress akut (King, 2011).

2.3.2        Chronic Stress

Stress kronis merupakan kebalikan dari stress akut, yaitu stress yang dapat berlangsung dalam waktu lama. Stress kronis dapat membuat seseorang jatuh sakit (King, 2011).

Lazarus (1978) dalam Ogden (2004) menyatakan bahwa individu akan melakukan penilaian terlebih dahulu sebelum memberikan respon terhadap stressor. Situasi-situasi yang dapat dinilai sebagai sebuah stressor yaitu:

  1. Salient Events

Situasi yang mendominasi dalam kehidupan seseorang. Misalnya pekerjaan, keluarga, dan teman.

  1. Overload

Banyaknya kegiatan yang dilakukan di saat yang bersamaa (multitasking) akan membuat seseorang lebih mudah menerima stress.

  1. Ambiguous Events

Situasi yang jelas akan membuat individu dapat menentukan strategi penyesuaian diri (coping strategy) lebih awal, namu jika situasi yang dihadapi ambigu atau tidak jelas, maka akan lebih mudah untuk mendatangkan stress.

  1. Uncontrollable Events

Situasi tidak terkontrol akan menjadi stressor yang kuat karena individu tidak dapat mengendalikannya.

Setelah penilaian dilakukan, maka individu dapat melakukan penyesuaian diri atau coping terhadap situasi-situasi disekitarnya.

 

2.4         Coping Skill

Coping skill adalah kemampuan untuk mengatur keadaan, usaha untuk menyelesaikan masalah, dan untuk menangani stress (King, 2011). Sedangkan Lazarus (1978) dalam Ogden (2004) mendefinisikan coping sebagai sebuah langkah lanjut setelah menilai situasi sekitar, yaitu proses pengelolaan stressor untuk menjembatani tuntutan lingkungan dan keinginan dalam diri.  Pada dasarnya coping skill merupakan kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi yang memberikan stress tersendiri bagi individu. Coping skill ditujukan untuk menangani atau menguasai stress tersebut. Coping skill dapat dibagi menjadi dua strategi yaitu Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.

2.4.1        Problem-focused coping

Pada strategi ini, individu akan berusaha mengurangi stress atau meningkatkan sumberdaya yang ada untuk megelolanya (Ogden, 2004). Strategi ini mengandalkan kemampuan kognitif seseorang yaitu dengan cara menghadapi masalah atau stress dan berusaha menyelesaikannya. Strategi ini dinilai dapat menyelesaikan masalah dengan baik sehingga menghindarkan individu terkait dari hal-hal psikopatologi seperti kecemasan dan depresi (Aldao dkk, 2010. dalam King, 2011).

2.4.2        Emotion-focused coping

Strategi ini memfokuskan kepada pengelolaan emosi terhadap stress yang dirasakan. Artinya, dalam strategi ini individu akan berusaha menghindar, mencoba menyangkal, melihat sisi positif, atau mentoleransi sumber stress yang dihadapi (King, 2011).

 

2.5         Mahasiswa

Mahasiswa merupakan setiap individu yang melanjutkan studi ke jenjang sarjana atau universitas setelah menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA). Rentang usia mahasiswa pada umumnya berada antara 18 tahun sampai dengan 30 tahun. Menurut Erickson dalam teorinya mengenai perkembangan sosioemosional, rentang usia tersebut berada pada masa transisi dari usia remaja ke dewasa awal (Santrok, 2011). Erickson menjelaskan pada usia remaja terjadi tahap pencarian jati diri (identity vs Identity confusion), yaitu saat individu mencari orientasi atau arah hidupnya. Biasanya pencarian tersebut akan berhubungan dengan pekerjaan dan eksplorasi kemampuan diri. Sedangkan pada masa dewasa awal individu telah megetahui jari diri dan menetapkan arah hidupnya sehingga memiliki fokus yang berbeda, yaitu untuk mencari pasangan hidup yang dapat mendampinginya. Mahasiswa berada pada masa transisi dari kedua tahapan perkembangan tersebut. Rentang usia ini merupakan jumlah korban kecelakaan lalu lintas terbanyak sepanjang tahun 2013 silam, yaitu sejumlah 67.789 jiwa (DITJEN HUBDAT, 2014). Hal ini menjadi perlu untuk diamati dan diteliti lebih lanjut.

 

 

2.6         Kerangka Berpikir

anisaPengendara sepeda motor dihadapkan kepada situasi berkendara yaitu lalu lintas. Situasi lalu lintas memiliki berbagai macam komponen atau variabel seperti pengendara lain, suara, cuaca, dan lainnya. Semua hal tersebut merupakan sebuah stresor tersendiri bagi setiap pengendara sepeda motor sehingga perlu dilakukan penyesuaian yang tepat. Seperti dijelaskan pada bagian 2.3 mengenai penilaian teradap situasi, pengendara akan menilai situasi lalu lintas dengan mempertimbangkan salient event, overloading, ambiguous, dan uncontrollable event.

Setelah mengetahui sifat ancaman yang dihadapi, pengendara kemudian dapat menentukan stratgei penyesuaian atau coping strategy yang akan digunakan baik problem-focused maupun emotion-focused coping. Proses coping dan strategi yang dipilih akan menghasilkan respon perilaku yang berbeda, dalam hal ini menentukan kemunculan perilaku aggressive driving sebagai bentuk respon terhadap stress yang disebabkan oleh situasi lalu lintas.

 

2.7         Asumsi Penelitian

Pada studi ini, peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara coping strategy dengan perilaku aggressive driving pada pengendara sepeda motor usia produktif di DKI Jakarta.

Daftar Pustaka

Darat, D. J. (2014). Perhubungan Darat Dalam Angka 2013. Jakarta: Kementrian Perhubungan RI.

Elliot Aronson, T. D. (2010). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Gerald Matthews, L. A. (1999). Age and Gender Differences in Stress Responses During Simulated Driving. Proquest Psychology Journals.

John M. Houston, P. B. (2003). The Aggressive Driving Behavior Scale: Developing a Self-Report Measure of Unsafe. North American Journal of Psychology, 5.

King, L. A. (2011). The Science of Psychology. New York: McGraw-Hill.

Nutter, R. L. (2002). A Comparisson of Reported Levels and Expression of Anger in Everyday and Driving Situations. British Journal of Psychology.

Ogden, J. (2004). Health Psychology A Text Book (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Santrok, J. (2011). Life-Span Development (13th ed.). New York: McGraw-Hill.

Siti Maslichah, E. S. (2012). Analisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Timbulnya Tindakan Kriminal dengan Simulasi Sistem Dinamik untuk Mengurangi Angka Kriminalitas. Jurnal Teknik POMITS, 1.

Kementrian Perhubungan. (2015). Sistem Informasi Geografis Prasarana Transportasi. Disadur dari: http://gis.dephub.go.id/mapping/StatistikDarat.aspx

Badan Intelejen Negara. (2015). Kecelakaan Lalu Lintas Menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga. Disadur dari: http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga

Pusat Informasi Transportasi Perkotaan. (2010). Transportasi Kota Jakarta Mengkhawatirkan. Disadur dari: http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=54

DITJEN HUBDAT. (2013). Petunjuk Teknis Pemilihan Awak Kendaraan Umum Teladan Tingkat Nasional Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Perhubungan RI.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2013). Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2013. Disadur dari: http://jakarta.bps.go.id/flip/statda2013/files/assets/basic-html/page15.html

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2013). Pengangguran (TPT) di Jakarta Feb-2013 sebesar 9,94%, lebih baik dibanding feb-2012: 10,72 %. Disadur dari: http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMTA1JnBhZ2U9YnJzJnN1Yj0wNSZpZD00Njk=

Online Oxford Dictionaries. Disadur dari: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english