Amanda Giovani Pea – 1601283500 – LE64

BAB 1

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Pada tahun 2014 Indonesia menempati peringkat ke-107 dari 175 negaraberdasarkan Corruption Perception Index (CPI), dengan skor 34 dari 100. Artinya, Indonesia masih termasuk sebagai Negara dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi saat ini (Tranparency International, 2014). Selain itu, pada tahun 2012 Indonesia memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi 3,2 dari 10, yang merupakan 14% lebih buruk dari rata-rata. Artinya, rendahnya skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) mengindikasikan negara dianggap sebagai relatif korup, sementara nilai yang tinggi menunjukkan bahwa suatu negara dianggap sebagai relatif bersih (Transparency International, 2012). Hal ini menjadikan korupsi sebagai suatu fenomena yang kompleks yang dialami oleh seluruh Negara, khususnya Indonesia.

Menurut ke 13 pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 junctoUndang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menjabarkan bahwa tindakan-tindakan yang termasuk korupsi diantaranya yaitu, korupsi yang terkait kerugian Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, korupsi yang terkait dengan perbuatan curang,  korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi (KPU, n.d). Tidak hanya dalam prinsip hukum, namun tindakan korupsi dalam berbagai bentuk, menjadi suatu hal yang sangat dipertimbangkan dalam berbagai bidang, yang dapat dilihat dari kode etik profesi, sebagai contoh yang tercantum dalam Kode Etik Bisnis (KEB) dalam satu firma yaitu Grup Sime Darby yaitu salah satu industry yang bergerak dalam bidang plantations, property, industrial, motor and energy utilities, yang menyatakan bahwa pemberi suap tidak benarkan untuk mempengaruhi atau memberikan hadiah atau tindakan lain yang dianggap sebagai pelicin untuk memenuhi permintaan pemberi suap, yang tentunya akan merugikan dan merusak nama baik pihak lain maupun kelompok (Sime Darby, n.d).

Berdasarkan data dalam Transparency International (2012), dari warga yang disurvei, 18% melaporkan telah membayar suap dalam 12 bulan terakhir pada tahun 2012. Kemudian, pada tahun 2013 meningkat sebanyak 100%, seperti yang tercantum dalam laman BBC dimana “sebanyak 36% warga Indonesia mengaku telah melakukan kasus suap pada perusahaan negara” (seperti yang dikutip dalam liputan6.com).

Tidak hanya itu, berdasarkan tabulasi data penanganan korupsi (oleh KPK) berdasarkan jenis perkara, antara lain, pengadaan barang/jasa, perijinan, penyuapan, pungutan, penyalahgunaan anggaran, TPPU, dan merintangi proses KPK yang terhitung sejak 2004-2015, dimana berdasarkan data tersebut jumlah kasus terbanyak yaitu kasus penyuapan, dengan total 189 kasus sejak tahun 2004. Hal ini sangat kontras dengan kasus lainnya, artinya kasus penyuapan merupakan salah satu kasus yang banyak terjadi sepanjang tahun, termasuk tiga kasus perkara peryuapan yang terjadi padatahun 2015 ini yang masuk dalam data kanal penindakan tersebut (ACCH, 2015)

Meningkatnya jumlah kasus dan tingginya intensitas tindakan suap berdasarkan fakta di atas, menjadikan tindakan suap (bribery) sebagaifokus penelitian. Menurut Legal Dictionary, bribery adalah tindakan memberikan uang atau hadiah yang dapat mengubah perilaku penerimanya (Bribery, n.d),yang saat ini tidak lazim di semua kalangan masyarakat, khususnya diberbagai institusi.Contohnya, seperti yang di lansir dalam laman liputan6.com yang menyatakan “Berdasarkan data KPK selama tahun 2014 ini, kasus korupsi paling banyak ditemukan di kementerian atau lembaga pemerintah, yakni mencapai 23 kasus.”

Berdasarkan data yang diperoleh di atas tentunya tidak dapat dipandang sebelah mata, karena hal tersebut mengindikasikan Negara Indonesia yang masih jauh dari kata “bersih”. Artinya ada banyak warga Indonesia yang secara tidak langsung terlibat dalam fenomena ini.

Bribery merupakan suatu tindakan yang digolongkan ke dalam bentuk korupsi dan melanggar hukum, namunmasih banyak orang yang terlibat dalam fenomena tersebut. Hal itu dapat dilihat dari berbagai aspek dimanatindakan suap dapat dapat terjadi antara dua pihak, yaitu pemberi suap (bribe payers) dan penerima suap (bribe takers) (Clarke & Xu, 2002). Dalam bribery artinya penerima suap (bribe takers) dapat bertindak untuk mencapai tujuan penyogok (bribe payers), karena didorong oleh pemberian uang atau hadiah kepada penerima (bribe takers).

Dalam hal ini peneliti focus pada pemberi suap (bribe payers), dimana terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan pemberi suap (bribe payers) yaitu keinginan bribe payers untuk membayar suap, pengaruh bribe takers lebih besar dari bribe payers, dan panjang hubungan pemberi suap dengan penerima (Clarke & Xu, 2002). Dengan kata lain, terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan suap, baik faktor internal yang merupakan dorongan dari dalam diri individu itu sendiri (willingness), baik dari segi behavior, kognisi, maupun emosional, maupun faktor eksternal atau dorongan dari luar individu yang dapat mempengaruhi tindakannya (misalnya, panjang hubungan, atau kendali yang lebih besar dari bribe takers).

Suatu tindakan tidak akan terjadi tanpa adanya keputusan yang diambil oleh seseorang. Begitupun dengan keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam tindakan suap. Penyuapan merupakan suatu tindakan yang tidak serta merta dilakukan, tanpa berpikir panjang. Oleh karena itu,keputusan yang diambil melibatkan pertimbangkan konsekuensi atau pro dan kontra yang diperoleh dari perilaku yang akan dilakukan, hal ini disebut dengan decisional balance. Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang dengan melihat semua pertimbangan yang relevan yang dibuat dengan seksama, lalu diintegrasikan ke dalam bentuk decisional balance, dimana terdapat perbandingan antara kemungkinan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari suatu tindakan (Janis & Mann’s, 1977 dalam LaBrie, Pedersen, Thompson & Earleywine, 2008).

Tidak hanya sampai pada keputusan yang dibuat berdasarkan pro dan kontra, atau untung dan rugi dari sebuah tindakan. Namun, keputusan yang di ambil oleh bribe payers, dalam hal ini dapat dilihat dari bagaimana cara seseorang melakukan evaluasi hal tersebut atau membentuk opini mengenai apakah beberapa tindakan atau tidak bertindak, niat, motif, karakter sifat, atau orang secara keseluruhan (kurang lebih) baik atau buruk yang diukur terhadap beberapa standar yang “baik” atau yang disebut dengan moral judgment(Burns, 2012). Dengan kata lain, melalui moral judgment individu dapat membandingkan antara hasil evaluasi dan persepsi mereka terhadap suatu hal dengan standar yang dianggap baik menurut norma dan etika akan hal tersebut.

Forsyth dalam Journal of Personality and Social Psychology, 1980 berpendapat bahwa variasi individu dalam pendekatan untuk pertimbangan moral dan perilaku dapat dikonseptualisasikan dalam dua dimensi dasar yaitu, relativisme dan idealism (Forsyth, 1980). Dengan kata lain, Forsyth menggambarkan bahwa idealisme adalah pandangan dimana seseorang menitikberatkan pada aturan, dan etika yang berlaku secara universal, yang juga menekankan pada aspek humanism, yaitu dengan mementingkan kesejahteraan orang lain. Di sisi lain, relativisme secara skeptic tidak berfokus bahkan menolak aturan, moral maupun etika yang berlaku secara universal. Dengan kata lain, seseorang dapat melakukan suatu tindakan yang mungkin dapat merugikan orang lain, namun disisi lain membawa keuntungan, atau kebaikan bagi satu pihak tertentu.

Forsyth menggambarkan bagaimana mengklasifikasikan moral judgment individu berdasarkan dimensi tersebut, terbagi menjadi situasionists (high relativistic, high idealism), absolutists (high idealistic, not relativistic), subjectivism (low idealism, high relativistic), dan exceptionists (low idealism, low relativistic)(Forsyth, 1985). Dengan kata lain, menurut Forsyth moral judgment diartikan sebagai keputusan atas tindakan yang hendak dilakukan, yang diambil suatu individu dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang bersifat ekternal seperti aturan dan prinsip dasar etika moral, ataupun subjektivitas individu itu sendiri. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk melihat bentuk dasar penilaian moral individu dalam melakukan suatu perilaku atau tindakan dalam hal ini bribery.

Dilihat dari proses pengambilan keputusan, maka dalam hal ini peneliti memfokuskan subjek penelitian dengan karakteristik rentang usia dewasa awal. Menurut Santrock (2011) dewasa awal adalah mereka yang tergolong dengan rentang usia 18-25 tahun untuk masa peralihan antara remaja dan memasuki tahap dewasa awal, dan tahap ini berlanjut hingga usia 30an. Transisi terjadi dari berbagai aspek kehidupan, seperti fisik, intelektual, maupun peran social.

Jika ditinjau dari transisi intelektual, maka pada tahap ini, menurut Piaget seseorang berada pada tahap operational formalbahkan memasuki tahapan post-operational formaldari segi perkembangan kognitif, yang artinya telah memiliki pola pemikiran yang kompleks, dan dapat berpikir secara abstrak, logis dan rasional (Santrock, 2011). Begitupun dalam hal pengambilan keputusan, seseorang yang pada tahap ini telah menempuh berbagai jenjang pendidikan, dan berhadapan dengan perkembangan lingkungan yang dinamis, tentunya diperhadapkan dengan permasalahan yang kompleks yang membutuhkan proses pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan banyak hal yang relevan, dan rasional (Dariyo, 2003).

Tidak hanya itu, menurut Dariyo (2003) pada tahap ini, seseorang akan berupaya untuk mengaktualisasikan diri melalui berbagai hal, salah satunya dengan memaksimalkan segala ide pemikiran dalam berbagai bidang, misalnya melalui pendidikan, ataupun dalam hal pencapaian tingkat ekonomi yang tinggi. Artinya, individu sangat berorientasi pada keberhasilan atau pemenuhan diri. Sehingga, segala keahlian dan pengetahuan yang didapatkan dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, contohnya dalam dunia kerja yang sering diperhadapkan dengan permasalahan yang kontradiktif.

Berdasarkan gambaran fenomena yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa meningkatnya kasus tindakan suap dari tahun ke tahun yang menjadikan fenomena ini sebagai objek penelitian, dapat dilihat dari kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan suap yang ditinjau dari beberapa hal, antara lain decisional balance dan moral judgment. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Analisa Hubungan AntaraMoral Judgment Dengan Decisional Balance Dalam Konteks Perilaku Suap (bribery) Pada Dewasa Awaldi Jakarta”

 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas peneliti merumuskan satu rumusan masalah yaitu “Apakah ada hubungan antara Moral Judgment dengan Decisional Balance dalam konteks Tindakan Suap (bribery) Pada Dewasa Awal di Jakarta?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu:

  1. Sebagai bahan ajuan untuk tugas akhir mata kuliah Metode Penulisan Ilmiah dan Proporsal
  2. Untuk mengetahui hubungan antara Moral Judgment dengan Decisional Balance dalam konteks Tindakan Suap (bribery) Pada Dewasa Awal di Jakarta?”

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

  1. Manfaat Akademis

Melalui penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dalam kajian teori Psikologi khususnya mengenai hubungan antara Moral Judgment dengan Decisional Balance dalam konteks Tindakan Suap (bribery) Pada Dewasa Awal

  1. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua kalangan khususnya individu dengan karakteristik dewasa awal, agar dapat menentukan keputusan yang tepat terhadap suatu permasalahan yang kontradiktif, dalam hal ini jika diperhadapkan dalam situasi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan suap, maka individu dapat mengambil keputusan yang tepat, dan tentunya dapat berkontribusi terhadap pemberantasan kasus suap di Indonesia, yang dapat dimulai dari diri sendiri.

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindakan Suap (Bribery)

2.1.1 Definisi Bribery

Menurut Legal Dictionary, bribery adalah tindakan memberikan uang atau hadiah yang dapat mengubah perilaku penerimanya. Sementara menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap tindakan suap (bribery) diartikan sebagai:

  1. Memberikan atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar seseorang berlawanan dengan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
  2. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar penerima melawan kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.

Selain itu, penyuapan (bribery) juga diartikan sebagai tindakan ilegal yang tidak etis, yang dilakukan oleh individu yang dapat mempengaruhi beberapa pihak seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah, dan pemegang jabatan public/swasta lainnya, guna untuk memenuhi permintaan atau keinginan pihak lainnya (Vincke 1999: 78 dalam Osifo, 2012). Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa tindakan yang hendak diambil oleh individu, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang menjadi keinginan pihak lain, dikendalikan oleh sebuah pemberian hadiah atau janji (Heimann, 1999 dalam Osifo, 2012).

Bribery dianggap sebagai sumber utama pembayaran illegal (Gesteland 1999: 91 dalam Osifo 2012) artinya hal ini sangat menghambat terjadinya persaingan terbuka diberbagai bidang (Osifo, 2012).

Menurut OECD (2014)“bribery is to offer, promise or give any undue pecuniary or other advantage, whether directly or through intermediaries, to a foreign public official, for that official or for a third party, in order that the official act or refrain from acting in relation to the performance of official duties, in order to obtain or retain business or other improper advantage in the conduct of international business” dapat diartikan bahwa, tindakan suap adalah segala bentuk penawaran, janji, berupa uang atau keuntungan lainnya, baik secara langsung atau melalui perantara, kepada pejabat public asing, pejabat, atau pihak ketiga, dalam rangka untuk mendapatkan atau mempertahanakan keuntungan bisnis, atau keuntungan lainnya yang sebenarnya tidak pantas dilakukan dalam bisnis internasional.

Berdasarkan bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, tindakan suap (bribery) adalah tindakan ilegalatau upaya pemberian hadiah atau janji oleh suatu pihak dengan tujuan untuk mengendalikan keputusan yang akan diambil oleh penerimanya, untuk mendapatkan berbagai keuntungan.

  • Pihak yang terlibat

Tindakan suap dapat dapat terjadi antara dua pihak secara berurutan (Engel, Goerg, & Yu, 2013) yaitu pemberi suap (bribe payers) dan penerima suap (bribe takers) (Clarke & Xu, 2002). Menurut Osifo (2012) tindakan suap merupakan suatu masalah yang multidimensional, yang melibatkan dua atau lebih pihak dalam rangka terlaksananya tindakan suap tersebut. Dalam bribery artinya penerima suap (bribe takers) dapat bertindak untuk mencapai tujuan penyogok (bribe payers), karena didorong oleh pemberian uang atau hadiah kepada penerima suap (bribe takers).

Clarke & Xu (2002) membahas pihak yang terlibat ditinjau dari beberapa ciri. Adapun karakteristik yang menggambarkan pemberi suap (bribe payers) yaitu 1) keinginan bribe payersuntuk membayar suap yangdidominasi dari kemampuan yang dimiliki individu ditinjau dari kapabilitas, atau tingginya performa finansial yang memicu keinginan untuk melakukan tindakan suap. Faktor ini juga dideskripsikan dalam theoretical model oleh Lui (1986) dalam Bayar, 2005, dimana transaksi yang dilakukan dipengaruhi oleh tingkat keinginan pihak pemberi suap; 2) pengaruh bribe takers lebih besar dari bribe payers. Hal ini digambarkan Andvig & Moene (dalam Bayar, 2005) yang mengemukakan bahwa tingginya prosedur birokrasi, mengakibatkan tingginya tingkat suap; 3) panjang hubungan pemberi suap dengan penerima, yang juga dikemukakan oleh Andvig & Moene (dalam Bayar, 2005) berkaitan pendekatan supply-demandyang menggambarkan sejauh mana hubungan antara kedua belah pihak saling mempengaruhi terjadinya suap.

Karakteristik penerima suap juga digambarkan oleh Clarke & Xu (2002), seperti 1) persaingan; 2) kapasitas jasa yang juga dijelaskan dalam model yang dikembangkan Manion (1996) bahwa tersedianya kapasitas jasa, yang kemudian memicu pemberi suap untuk menawarkan permintaan suap terlebih dahulu (seperti yang dikutip dalam Bayar, 2005); 3) kepemilikan

  • Dimensi Bribery

Adapun menurut Osifo (2012) tindakan suap dapat terjadi dipengaruhi oleh beberapa dimensi berikut ini:

  1. Rasa Takut(Fear)

Lingkungan kerja dan situasi masa depan yang tidak menjanjikan dapat mempengaruhi terjadinya bribery, dikarenakan adanya rasa takut dan tidak percaya. Nasib buruk dapat membuat orang menjad putus asa terhadap layanan yang diberikan dan memicu terjadinya korupsi (Hunt, 2006 dalam Osifo, 2012). Menurut, Farlex (2011), rasa takut adalah perasaan gelisah dan cemas yang dimunculkan seseorang ketika diperhadapkan dengan ancaman atau bahaya (dikutip dalam Osifo, 2012). Artinya, kecemasan dan kegelisahan yang dirasakan seseorang dalam dunia pekerjaan atau dalam bidang lainnya, akan membuat orang cenderung untuk melakukan tindakan suap. Napal (2006) membahas poin ini dari dimensi kewajiban, seperti yang ditemukan dalam kontraktualisme, atau perjanjian yang dibuat oleh dua pihak, dimana salah satu pihak wajib untuk memenuhinya.

  1. Kebebasan Bertindak (Discretion)

Discretion atau disebut juga kebebasan bertindak. Lawton (1998:16) dalam Osifo 2012 mengasosiasikan discretion dengan ketertarikan. Dengan kata lain, discretion adalah keputusan atau pilihan yang ambil seseorang berdasarkan keinginan bebas (Osifo, 2012). Dalam hal ini, bribery dapat terjadi dipengaruhi oleh kemauan atau keinginan seseorang, sebagai contoh orang yang kaya akan cenderung untuk melakukan bribery dengan mempertimbangkan penghasilan dan waktu yang dimiliki, artinya timbal balik dan jaringan yang terikat dengan kepercayaan yang mudah dimiliki oleh orang yang berpenghasilan lebih, akan mempengaruhi orang untuk terlibat suap berdasarkan keinginan bebas. Tidak hanya itu, Bayar (2005) juga mengemukakan bahwa menurunnya tingkat diskresi dalam hal meningkatkan birokrasi, akan menurunkan tingkat suap. Selain itu, Groenendjik (1997) menambahkan terjadinya penyalahgunaan diskresi, dimana individu mengganti posisi autoritas menjadi kebebasan bertindak.

  1. Kombinasi antara rasa takut dan kebebasan bertindak (combination of both fear and discretion)

Di poin nomor 2 telah dijelaskan bahwa orang kaya atau orang yang berpenghasilan lebih cenderung melakukan suap yang dipengaruhi oleh besarnya discretion (kebebasan bertindak) dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan rendah. Namun, tidak hanya dipengaruhi oleh discretion tetapi juga rasa takut akan keinginan untuk mendominasi atau me-maintain status quo dapat memicu orang yang berpenghasilan tinggi untuk melakukan suap. Dengan kata lain, rasa takut yang tidak disadari bisa mendorong orang menjadi terlibat dalam penyuapan, tetapi nilai-nilai dan keyakinan juga dapat mempengaruhi kecenderungan diskresioner terhadap suap (Osifo, 2012).

Berdasarkan dimensi suap di atas dapat disimpulkan bahwa suap dapat terjadi tidak hanya karena adanya rasa takut akan ketidakpastian lingkungan, namun juga adanya keinginan bebas untuk bertindak. Hal ini diakibatkan karena nilai-nilai dan budaya yang dinamis.

  • Moral Judgment

2.2.1 Definisi Moral Judgment

Moral judgment dapat ditinjau dari penalaran moral yang berkembang seiring dengan perkembangan moral. Lawrance Kohlberg (1976, 1986) menyatakan bahwa alasan seseorang untuk melakukan keputusan moral atau nilai dapat dipengaruhi berdasarkan progress melalui setiap level dan tahap moralitas (Santrock, 2012). Artinya bagaimana perilaku, kognisi, serta perasaan seseorang terhadap masalah moralitas, apakah seseorang merasa bersalah atau mempertahannkan perilakunya, hal tersebut ditinjau Kohlberg berdasarkan tiga level moral dengan 6 tahap, yaitu preconventional reasoning, conventional reasoning, dan post-conventional reasoning (Santrock, 2012. Preconventional reasoning merupakan level terendah dimana seseorang hanya memahami peristiwa berdasarkan hukuman dan ketaatan, sementara conventional reasoning adalah level menengah, dimana individu patuh pada standar internal yang dibentuk karena pengaruh dari standar eksternal, seperti orang tua, dan hukum masyarakat. Level tertinggi adalah post-conventional reasoning dimana, pada tahap ini individu telah memiliki pemahaman internal mengenai moralitas (Santrock, 2012).

Burns (2012) berpendapat bahwa moral judgment dilihat dari sejauh mana seseorang melakukan evaluasi mengenai suatu hal atau membentuk opini mengenai apakah bertindak atau tidak bertindak, niat, motif, karakter sifat, atau orang secara keseluruhan (kurang lebih) baik atau buruk yang diukur terhadap beberapa standar yang “baik”.

Sementara menurut Forsyth (1980) moral judgment merupakan hubungan antara nilai-nilai moral dan perilaku moral. Artinya keputusan moral yang diambil oleh individu dapat ditinjau melalui keyakinan terhadap suatu etika, dan keputusan yang diambil terhadap dilemma moral yang ada (Nazaruddin, 2011). Dimana perilaku moral merupakan hal yang tidak mudah untuk diprediksi, Forsyth membagi moral judgment ke dalam dua dimensi dasar yaitu relativisme dan idealism. Dimana disatu sisi, idealism memandang seseorang akan berpegang teguh terhadap prinsip etika yang berlaku universal, sementara disisi lain relativism memandang orang lain akan menolak prinsip etika secara skeptic dengan beberapa pertimbangan.

Menurut Haidt dan Greene (2002) dalam teorinya mengenai moral judgment, beliau mengembangkan Social Institutionist Model (SIM), yang menyatakan bahwa keputusan moral bukanlah termasuk penalaran, melainkan proses intuisi seseorang, yang secara otomatis, dan tanpa melalui proses kognitif tingkat tinggi dapat menentukan perasaan setuju atau tidak setuju ketika diperhadapkan dengan dilemma moral.

Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa moral judgment adalah keputusan tindakan yang diambil terhadap dilemma moral yang diperhadapkan, dengan mempertimbangkan beberapa hal termasuk prinsip etika standar yang berlaku secara universal, maupun pertimbangan yang berasal dari pengaruh internal dalam diri individu itu sendiri.

2.2.2 Dimensi Moral Judgment

Forsyth (1980) membagi moral judgment ke dalam dua dimensi dasar yaitu relativisme dan idealism, antara lain:

  1. Idealisme adalah pandangan yang menekankan keyakinan individu akan keputusan yang diambil tanpa melanggar nilai-nilai moral.
  2. Relativisme adalah pandangan mengenai penolakan nilai moral yang didasari atas keyakinan individu, bahwa suatu tindakan didefinisikan sebagai bermoral/melanggar nilai moral berbeda antara individu yang satu dengan lainnya.
    • Decisional Balance

2.3.1 Definisi Decisional Balance

Decisional balance adalah keputusan yang diambil melibatkan pertimbangkan konsekuensi atau pro dan kontra yang diperoleh dari perilaku yang akan dilakukan(Janis & Mann’s, 1977 dalam LaBrie, Pedersen, Thompson & Earleywine, 2008). Artinya, pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang dengan melihat semua pertimbangan yang relevan yang dibuat dengan seksama, lalu diintegrasikan ke dalam bentuk decisional balance, dimana terdapat perbandingan antara kemungkinan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari suatu tindakan (Janis & Mann’s, 1977 dalam Kroll, Keller, Scholz, & Perren 2011).

Hal ini berakar dari pandangan dimana motivasi merupakan keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan (pro dan kontra), dalam rangka untuk melakukan sebuah perubahan, upah dari sebuah perilaku harus lebih besar dari manfaatnya, dan kelebihan terhadap perilaku yang baru harus lebih besar dari kontra atau kerugiannya (Foster, 2012). Sehingga keefektifan pembuatan keputusan berdasarkan decisional balance focus pada pertimbangan penuh akan faktor yang relevan dengan keuntungan maupun kelebihannya. Dengan decisional balance seseorang dapat terfasilitasi untuk mencegah terjadinya eror dalam keputusan yang dibuat, dan membuat individu lebih sadar akan proses pengambilan keputusan mereka (Foster, 2012).

  • Dimensi Decisional Balance

Menurut model decision making yang dikembangkan Janis & Mann (1977) terdapat 8 kategori dari decisional balance yaitu keuntungan/kerugian diri sendiri maupun orang yang signifikan, self-approval/disapproval atau approval/disapproval dari orang yang signifikan (seperti yang dikutip dalam Kroll, Keller, Scholz, & Perren 2011) . Namun, model ini dikembangkan dari stuktur sederhana yang terdiri dari dua dimensi dasar yang menjadi focus penelitian yaitu:

  1. Pro yaitu keuntungan yang dirasakan atau didapatkan seseorang ketika memutuskan untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
  2. Kontra yaitu kerugian yang dirasakan atau didapatkan seseorang ketika memutuskan untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
    • Dewasa Awal

Menurut Santrock (2011) dewasa awal adalah mereka yang tergolong dengan rentang usia18-25 tahun, dimana tahap ini merupakan tahap dimana seseorang mengalami transisi dari masa remaja. Lalu tahap ini berlanjut hingga seseorang mencapai usia 30an. Terdapat berbagai perubahan dari aspek fisik, kognitif, maupun sosioemosional. Dimana jika ditinjau dari aspek kognitif, individu dengan karakteristik dewasa awal berada pada tahap formal operational bahkan memasuki tahap post formal operational, memiliki pola pikir yang kompleks, rasional, logis, bahkan reflektif (Santrock, 2011). Tidak hanya itu, dalam tahap ini juga seorang dewasa awal akan berorientasi pada pemenuhan diri, baik dari segi pencapaian dalam bidang pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dll. Artinya pada tahap ini, individu sering diperhadapkan dengan permasalahan yang kontradiktif, terkait dengan proses pencapaian atau pemenuhan diri yang memerlukan proses berpikir tingkat tinggi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dalam menilai kecenderungan melakukan tindakan suap maka, tahap dewasa awal merupakan tahap dimana seorang individu dapat melakukan proses pengambilan keputusan dengan level kogntif yang lebih tinggi dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

2.5 Kerangka Berpikir

AMANDA G

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa berawal dari fenomena tindakan suap yang meningkat drastic, dan berkontribusi terhadap tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Seperti yang tertera dalam tabulasi data penanganan korupsi (oleh KPK) yang terhitung sejak 2004-2015, jumlah kasus terbanyak yaitu kasus penyuapan, dengan total 189 kasus sejak tahun 2004, yang merupakan terbanyak dibanding jenis kasus korupsi lainnya (ACCH, 2015). Dari sebagian besar kasus penyuapan terjadi di area institusi baik pemerintahan maupun swasta, sebagian besar pelaku yang terlibat dalam hal ini berada dalam tahap dewasa awal, yaitu dengan karakteristik usia 18-30tahun, dimana jika ditinjau dari berbagai aspek perkembangan, perkembangan kognitif individu berada ditahap formal operasional bahkan memasuki post formal operasional, dimana pada tahap ini individu akan memiliki proses berpikir yang rasional, logis, kompleks, bahkan dapat melakukan refleksi atas keputusan yang dibuat(Santrock, 2011).

Berada dalam masa yang sering diperhadapkan dengan permasalahan yang kontridiktif, seseorang dengan karakteristik dewasa awal cenderung untuk melakukan pemenuhan diri. Individu cenderung terpacu untuk mendapatkan hasil yang terbaik diberbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, termasuk dalam permasalahan tindakan suap yang terjadi khususnya di Jakarta, individu sering diperhadapkan dengan dilemma dalam menentukkan keputusan apa yang seharusnya diambil dalam menghadapi situasi tertentu khususnya kasus bribery.

Proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, moral judgment yaitu keputusan tindakan yang diambil terhadap dilemma moral yang diperhadapkan, dengan mempertimbangkan beberapa hal termasuk prinsip etika standar yang berlaku secara universal, maupun pertimbangan yang berasal dari pengaruh internal dalam diri individu itu sendiri (Burns, 2012). Dalam hal ini, dapat digolongkan ke dalam dua kategori yakni relativism dan idealism (Forsyth, 1980). Kedua, decisional balance yaitu keputusan yang diambil melibatkan pertimbangkan konsekuensi atau pro dan kontra yang diperoleh dari perilaku yang akan dilakukan. Dalam hal ini, dapat digolongkan ke dalam dua dimensi dasar yaitu pro dan kontra atau yang disebut juga dengan keuntungan dan kerugian yang dirasakan atau diperoleh sebagai akibat dari suatu tindakan tertentu(Janis & Mann’s, 1977 dalam LaBrie, Pedersen, Thompson & Earleywine, 2008).

Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kecenderungan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan suap dapat dilihat dari dua hal yaitu moral judgment dan decisional balance, yang dalam hal ini difokuskan pada subjek dengan karakteristik dewasa awal, dikarenakan tahap perkembangan dalam proses kognitif maupun sosioemosional yang dapat melakukan proses kognitif pada level yang lebih tinggi dalam mengambil keputusan, yang jugadidorong oleh kebutuhan akan pemenuhan diri.

 

  • Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas peneliti mengajukan hipotesis yakni “Ada hubungan antara Moral Judgment dan Decisional Balance dalam konteks bribery pada dewasa awal di Jakarta.”


DAFTAR PUSTAKA

ACCH. (2015). Penanganan TPK Berdasarkan Jenis Perkara. Retrieved from http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara

Bayar, G. (2005). The role of intermediaries in corruption. Public Choice, 122(3-4), 277-298.

bribery. (n.d.) West’s Encyclopedia of American Law, edition 2. (2008). Retrieved March 20 2015 from http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/bribery

Burns, S. A. (2012). Evolutionary Pragmatism: A Discourse on a Modern Philosophy For the 21st Century. Retrieved from http://www3.sympatico.ca/saburns/pg0402.htm

Clarke, G. R. G., & Xu, L. C. (2002). Privatization, competition and corruption: how characteristics of bribe takers and payers affect bribe payments to utilities.

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: PT. Grasindo. Retrieved from http://bit.ly/19FhwDg

Deil, S. A. F. (2013). Negara Paling Banyak Kasus Suap, RI Peringkat 30 Dunia: Liputan 6. Retrieved from http://bisnis.liputan6.com/read/638198/negara-paling-banyak-kasus-suap-ri-peringkat-30-dunia

Engel, C., Goerg, S. J., & Yu, G. (2013). Symmetric vs. asymmetric punishment regimes for bribery. MPI Collective Goods Preprint, (2012/1).

Find the Data. (2012). Indonesia. Retrieved from http://country-corruption.findthedata.com/l/121/Indonesia

Forsyth, D. R. (1980). A taxonomy of ethical ideologies. Journal of personality and social psychology, 39 (1), 175-184.

Forsyth, D. R. (1985). Individual differences in information integration during moral judgment.Journal of personality and social psychology, 49(1), 264-272.

Foster, D. W. (2012). Decisional balance: theory, history, research, and directions for alcohol research(Doctoral dissertation).

Groenendijk, N. (1997). A principal-agent model of corruption. Crime, Law and Social Change, 27(3-4), 207-229.

Haidt, J., & Greene, J. (2002). How (and where) does moraljudgment work?.Trends in Cognitive Sciences, 6(12).

KPU. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Retrieved from http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU202001.pdf

Kroll, C., Keller, R., Scholz, U., &Perren, S. (2011). Evaluating the decisional balance constructof the Transtheoretical Model: are two dimensions of pros and cons really enough?.International journal of public health, 56(1), 97-105.

LaBrie, J. W., Pedersen, E. R., Thompson, A. D., & Earleywine, M. (2008). A brief decisional balance intervention increases motivation and behavior regarding condom use in high-risk heterosexual college men. Archives of sexual behavior, 37(2), 330-339.

Liao, S. M. (2010). Bias and reasoning: haidt’s theory of moral judgment. Forthcoming in new waves in ethics, ed. thom brooks. Palgrave.

Napal, G. (2006). An assessment of the ethical dimensions of corruption. Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies, 11(1), 5-9.

Nazaruddin, I. (2011). Dampak religiositas, relativisme dan idealisme terhadap penalaran moral dan perilaku manajemen laba (Doctoral dissertation, Program Pascasarjana Undip).

OECD. (2014). OECD Foreign Bribery Report: An analysis of the crime of bribery of foreign Public Officials, OECD Publishing, http://dx.doi.org/10.1787/9789264226616-en

Osifo, C. (2012). Proceedings of the University of Vaasa: Combating bribery as an issue of different dimensions.

Santrock, J. W. (2012). Educational psychology 5thed. New York: McGraw-Hill.

Santrock, J. W. (2011). Life span development 13thed. New York: McGraw-Hill.

Sime Darby. (n.d.). Kode Etik Bisnis Nilai Tindakan Kami. Retrieved from http://www.simedarby.com/upload/COBC_Indonesia.pdf

Transparency International. (2014). Corruption Perception Index 2014. Retrieved from http://issuu.com/transparencyinternational/docs/2014_cpibrochure_en?e=2496456/10375453#search