Individu lajang usia 25 hingga 40 tahun di Indonesia pasti seringkali menerima pertanyaan kapan menikah? Penulis sendiri mengalaminya waktu belum menikah, terutama setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang magister. Ada kesan bahwa setelah menunaikan pendidikan, menikah adalah suatu keharusan. Seakan-akan menjadi lajang bukanlah suatu hal yang wajar. Seakan-akan siklus kehidupan dibuat secara sederhana: lahir – sekolah – lulus – menikah – punya anak – menikahkan anak – meninggal. Namun, benarkah demikian? Tepatkah jika kita mendorong teman, saudara, bahkan anak berusia 25 – 40 tahun yang masih lajang untuk segera menikah? Timbul pertanyaan, jangan-jangan tekanan tersebut membuat individu memasuki pernikahan karena “tekanan sosial” dan bukan karena individu yang bersangkutan sudah siap.

Memasuki pernikahan memang berbeda dengan memainkan “rumah-rumahan” seperti layaknya dilakukan anak-anak. Pernikahan adalah institusi sosial dimana dua orang berkomitmen menjalani hubungan yang diakui secara sosial, dimana hubungan seksual adalah hal yang sah dan ada tanggung jawab hukum untuk keturunan serta untuk pasangan. Dari definisi ini terlihat bahwa memasuki pernikahan berarti masuk ke dalam ikatan antar suami dan istri yang diakui oleh agama serta hukum, dengan tujuan membina keluarga. Saat individu menikah, ia akan memainkan peran baru, baik sebagai suami, maupun sebagai istri. Bahkan dalam agama tertentu, memasuki pernikahan berarti siap menjalankan peran tersebut dengan berkomitmen seumur hidup, hingga maut memisahkan. Sehingga, masuk ke pernikahan memerlukan kesiapan tertentu.

Kesiapan (readiness) dalam psikologi berarti: 1) suatu keadaan siap untuk bertindak atau berespon terhadap suatu stimulus, atau 2) derajat persiapan untuk melakukan suatu tugas spesifik, atau suatu subjek yang dibutuhkan untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). (VandenBos, 2007). Kata readiness sendiri sudah biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan siap berespon terhadap pengajaran/instruksi dalam membaca, matematika atau bahasa asing. Dengan kata lain, kesiapan belajar matematika adalah sejauh mana individu mampu memahami instruksi dalam bidang matematika.

Ditinjau dari asal kata, maka kesiapan menikah atau marriage readiness bisa diartikan sebagai keadaan siap berespon pada komitmen dan tanggung jawab dalam pernikahan. Beberapa ahli mencoba merumuskan kesiapan menikah sebagai:

  • Persepsi individu mengenai kemampuan diri untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam pernikahan dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Persepsi indvidu ini merupakan bagian dari sifat individu yang terbentuk dari persepsi mereka mengenai proses interpersonal pasangan, dan faktor sosial, keluarga serta faktor-faktor pribadi (Holman dan Li, 1997).
  • Persepsi individu adalah penilaian subjektif seseorang mengenai berapa siap ia memenuhi peran dan tanggung jawab dalam pernikahan (DeLaph, 2000).
  • kemampuan individu untuk menyandang peran baru, sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, serta sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004). Wiryasti (2004) membagi kemampuan individu untuk menyandang peran baru menjadi:
    • Komunikasi
    • Keuangan
    • Anak dan Pengasuhan
    • Pembagian peran suami istri
    • Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar
    • Agama
    • Minat dan pemanfaatan waktu luang
    • Perubahan pada pasangan dan pola hidup
    • Latar belakang suku bangsa

Dari definisi di atas, maka kesiapan menikah terdiri dari kemampuan pasangan dalam komunikasi, pengaturan keuangan, kesepakatan tentang pengasuhan anak, pembagian peran suami istri, kemampuan menerima latar belakang pasangan (suku, agama), kemampuan menjaga relasi dengan keluarga besar, kemmampuan membagi waktu untuk berdua dan melaksanakan minat pribadi, kemampuan menghadapi perubahan pola hidup setelah menikah.

Namun, seringkali pasangan muda yang akan menikah lebih berfokus ke persiapan teknis seperti pemilihan gedung, pakaian adat, serta catering, daripada kemampuan yang disebutkan di atas. Jadi, bagi Anda yang mungkin punya rencana untuk menikah, ada baiknya merefleksikan hal-hal berikut ini: apakah Anda sudah merasa mampu berkomunikasi dengan pasangan? Apakah Anda sudah memiliki rencana terkait finansial saat menika nanti? Apakah Anda dan pasangan sudah pernah membicarakan pembagian peran saat menikah nanti? Bagaimana pasangan Anda beradaptasi dengan kebiasaan keluarga Anda? Sebaliknya, bagaimana Anda beradaptasi dengan kebiasaan keluarga pasangan? Dimana Anda akan tinggal segera setelah menikah? Berapa jumlah anak yang Anda inginkan?

Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu ditanyakan dan menjadi bahan evaluasi sebelum menikah. Sebagai saudara atau orangtua, ada baiknya mengingatkan pasangan yang akan menikah untuk membicarakan mengenai hal-hal di atas. Sementara bagi Anda yang berencana untuk menikah, selamat berdiskusi dengan pasangan! 🙂

nikah1

 

Referensi:

DeLap, H. (2000). Personal Readiness for Marriage in Adult Children of Alcoholics and Adult Children of Non-Alcoholics. Research paper, University of Wisconsin-Stout: Unpublished.

Holman, T. B., Li, B. D. (1996). Premarital Factors Influencing Perceived Readiness for Marriage. Journal of Family Issues, 18, 124-114. DOI: 10.1177/019251397018002002

VandenBos, G. (2007). APA Dictionary of Psychology. Washington, DC, US: American Psychological Association.

Wiryasti, C. H. (2004). Modifikasi dan Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah. Tugas Akhir Magister Profesi Psikologi Universitas Indonesia: Tidak Diterbitkan.