20150203_153842

“Kapan Nikah?”

Penulis mengamati bahwa dalam adat istiadat di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, melihat pernikahan sebagai salah satu tanda keberhasilan orangtua dalam membesarkan anak. Sehingga orangtua cenderung ingin anaknya lekas menikah, bahkan menikah di usia remaja. Penelitian yang dilakukan BKKBN (2011) di Provinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Banten menunjukkan usia menikah pertama yang muda, yaitu 13-18 tahun. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain pengaruh lingkungan. Dalam lingkungan tersebut, menikah usia 14-16 tahun adalah yang biasa, bahkan perempuan yang belum menikah pada usia 17 tahun dianggap perawan tua.Selain itu, dari segi ekonomi, menikahkan anak (terutama anak perempuan) berarti mengurangi pengeluaran keluarga karena anak kini di bawah tanggungan suami. Oleh karena itu, orangtua seringkali mendorong anak yang telah akil balik untuk melangsungkan pernikahan. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan, dimana rata-rata usia pernikahan pertama lebih rendah dari rata rata nasional menurut Susenas tahun 2010, yaitu 19,7 tahun. Meskipun demikian, usia pernikahan pertama di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada rata-rata nasional, yaitu 20,5 tahun. Data BPS tahun 2010, menunjukkan rata-rata perempuan di daerah perkotaan menikah pada usia 20-22 tahun, hal ini disebabkan karena partisipasi perempuan dalam karir dan pekerjaan sebelum perkawinan sehingga dapat menunda usia perkawinan. Untuk perempuan, usia tersebut sudah sesuai dengan anjuran dari BKKBN, yaitu minimal 20 tahun untuk perempuan. Namun belum sesuai untuk laki-laki, yaitu 25 tahun untuk laki-laki.

Kondisiusia pernikahan pertama di perkotaan yang lebih tinggi daripada di desa, menimbulkan adanya pandangan miring, seperti cap “tidak laku” atau “punya standar terlalu tinggi” bagi individu yang belum menikah pada usia matang (sekitar 25-40 tahun). Pandangan ini berasal baik dari teman sepermainanmaupun keluarga besar. Ada semacam tekanan sosial yang dirasakan pada individu lajang usia matang, terutama saat kumpul dengan keluarga atau teman. Tekanan ini salah satunya ditunjukkan dengan pertanyaan “Kapan menikah?“.

Alasan di balik menunda pernikahan

Walaupun ada tekanan sosial untuk menikah pada usia 25-40 tahun, beberapa orang di usia tersebut memilih untuk menunda pernikahan. Alasan untuk menunda pernikahan ini berbeda antara laki- laki dan perempuan. Untuk laki-laki, alasan menunda pernikahan antara lain:sudah terpenuhinya kebutuhan hidup (keintiman, finansial) dengan hidup lajang, masih memiliki tujuan yang belum tercapai (misalnya ingin membeli rumah), belum menemukan pasangan yang cocok, belum merasa mampu menghidupi keluarga secara finansial, serta menghindari resiko dari pernikahan, seperti: harus menyesuaikan gaya hidup dengan gaya hidup istri, sampai perceraian. Sementara, untuk wanita, beberapa alasan belum menikah di usia matang adalah belum bertemu pasangan yang dirasa cocok, masih fokus pada pekerjaan, merasa nyaman dengan kehidupan melajang, merasa mampu memenuhi kebutuhan emosional dan finansial sendiri, alasan lain adalah adanya pengalaman kekerasan dalam pacaran dan merasa bertanggung jawab mengurus orangtua, sehingga menunda pernikahan.

Menemukan pasangan yang cocok

Dari uraian di atas, terdapat beberapa alasan yang sama pada perempuan dan laki-laki, yaitu belum menemukan pasangan yang dirasa cocok. Kondisi ini membulkan pertanyaan “apakah sesulit itu mencari pasangan hidup di perkotaan masa kini?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan kajian tersendiri. Namin dari pengamatan dan pengalaman penulis sehari-hari, ada beberapa kondisi yang membuat pencarian pasangan di masa kini menjadi relatif sulit dibandingkan satu dekade yang lalu. Pertama adalah kesibukan profesional muda yang berada di usia matang. Pada usia 25-30 tahun, perkembangan karir seseorang telah sampai di posisi menengah, serperti supervisor ataupun manager. Posisi ini merupakan posisi yang membutuhkan perhatian khusus, karena mulai perlu berpikir strategis dan mengelola anggota tim, sehingga butuh usaha ekstra dibandingkan pekerjaan staf yang rutin.Sebagian besar profesional muda bekerja dari pukul 9 pagi hingga 5 sore, namun banyak pula yang bekerja dari pukul 9 pagi hingga 6 sore bahkan 9 pagi hingga 9 malam setiap harinya. Hal ini membuat waktu mereka untuk bersosialisasi semakin berkurang. Kondisi kedua ialah kemacetan, terutama di kota metropolitan seperti Jakarta. Kemacetan membuat waktu perjalanan naik hingga dua kali lipat, sehingga menghambat mobilitas individu untuk pergi ke tempat dimana mereka bisa bersosialisasi.

Dalam kondisi seperti ini, muncul biro jodoh yang membantu individu usia matang menemukan jodoh yang cocok. Cara ini cukup efektif, terutama untuk orang yang merantau, berada di lingkungan baru, dan memiliki sedikit waktu untuk bersosialisasi dan memilih pasangan. Seiring dengan berjalannya waktu, biro jodoh pun berpindah ke dunia maya, sering dikendal dengan online dating. Walaupun online dating masih memiliki stigma negatif di masyarakat, namun justru orang yang menggunakan jasa online dating adalah orang-orang yang masih mau berusaha, memanfaatkan jalan lain yang ada untuk mencari pasangan.

 

20150203_153829

 

20150203_153850

Referensi:

Catatan: tulisan in merupakan kumpulan jawaban dari pertanyaan wawancara yang diajukan oleh jurnalis dari acara Metro 360, edisi ‘Mencari Jodoh Via Biro Jodoh’.

 

Editor by: Berdi Dwijayanto, S.Psi.