Indah Seprina**

Pendahuluan

            Indonesia merupakan sebuah bangsa yang kaya akan berbagai macam suku, budaya, adat, dan agama. Keberagaman suku, budaya, dan agama menjadi sebuah identitas  sekaligus tantangan besar di negara ini. Kekayaan Indonesia tidak hanya sebatas itu saja. Indonesia juga dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah dengan 17.508 pulau yang dibagi menjadi 34 provinsi. Indonesia memiliki sebuah semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika”, diambil dari bahasa Jawa kuna yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut sudah ada dari jaman kerajaan Majapahit pada abad ke -14. Istilah ini istimewa karena pada awalnya “Bhineka Tunggal Ika” mengajarkan toleransi antara umat hindu siwa dan buddha pada jamannya. Semboyan ini pun dijadikan sebagai salah satu identitas Indonesia karena negara ini memiliki berbagai macam keaneka ragaman tetapi akan tetap satu sebagai Kesatuan Negara Republik Indonesia. Identitas bangsa ini tidak hanya sebatas semboyan itu saja, Indonesia memiliki Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Tantangan terbesar justru lahir dari perbedaan itu sendiri. Perbedaan akan menimbulkan sebuah konflik yang secara nyata terjadi di Indonesia sekarang ini.

Terdapat lima agama yang diakui di Indonesia, kelima agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha dengan mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Konflik yang sering merebak dari dulu hingga kini adalah konflik perbedaan agama yang ditunjukkan dengan tindakan-tindakan yang saling merugikan bagi semua pihak. Meskipun dalam UUD 1945 pada pasal 29 ayat 2 telah mengatur mengenai kebebasan agama, tetapi Indonesia masih saja diwarnai oleh konflik-konflik agama. Konflik ini pun tidak hanya baru terjadi beberapa tahun belakangan ini, melainkan dari jaman setelah kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu banyak  terjadi pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengganti identitas bangsa ini yang tadinya negara kesatuan menjadi negara dengan satu identitas agama saja. DI/TII merupakan salah satu pemberontakan yang terjadi pada tahun 1949 yang ingin mengubah bangsa ini menjadi sebuah negara islam. Pemberontakan tersebut juga dapat digolongkan sebagai sebuah contoh konflik yang dilatarbelakangi agama. Hingga saat ini  konflik-konflik serupa terus terjadi di Indonesia, meskipun tidak berbentuk sebuah aksi pemberontakan melainkan aksi-aksi diskriminasi yang menunjukkan adanya intoleransi beragama. Ketidak konsistensian antara identitas dengan keadaan yang sebenarnya berdampak pada perusakan citra bangsa Indonesia. Perusakan citra ini tidak hanya terjadi di mata masyarakat Indonesia saja tetapi juga meluas ke mata internasional.

Paper ini mengutip tiga berita yang cukup kontroversial mengenai intoleransi beragama yang terjadi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Baik yang terjadi diantara agama yang berbeda maupun di dalam satu agama yang sama tetapi memiliki aliran yang berbeda. Ketiga berita tersebut adalah konflik gereja HKBP-PTI di Bekasi (2010), konflik gereja HKBP Filadelfia pada saat malam natal (2012), dan konflik pembubaran pengajian jemaah Majelis Tafsir Al-quran (MTA) oleh aktivis muda Nahdatul Ulama (NU) (2012).

Penjelasan akar masalah terjadinya konflik akan dilihat dari sudut pandang Social Psychology dengan menggunakan teori social categorization. Pandangan social psychology dianggap sesuai dalam menjelaskan permasalahan ini karena social psychology merupakan sebuah studi ilmiah mengenai bagaimana cara orang bepikir, merasa, dan berperilaku dipengauhi oleh kehadiran orang lain baik scara nyata maupun imajinasi (Aronson, 2007). Selain itu karena konflik yg dibahas termasuk dalam sebuah konflik sosial, maka pandangan psikologi sosial diangap sesuai untuk menjelaskan mengenai akar permasalahan terjadi konfilk-konflik tersebut.

Paper ini bertujuan untuk menjelaskan peranan dialog lintas agama sebagai mediator untuk mencapai integrative solution dalam penyelesaian konflik komunitas. Selain itu paper ini juga akan menjelaskan  peranan dialog lintas agama untuk perbaikan citra bangsa Indonesia di mata Internasional.

 

Analisa

Telah terjadi banyak konflik dengan latar belakang agama di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Konflik pertama yang dikutip dalam paper ini merupakan  salah satu konflik besar yang sempat mencuri perhatian masyarakat Indonesia yaitu kontroversi Gereja HKBP di Bekasi, Jawa Barat. Konflik ini terjadi pada tahun 2010 yang diawali dengan penyegelan gereja tersebut oleh pemerintah kota setempat melalui Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) Kota Bekasi, karena gereja tersebut menyalahi peruntukan bangunan. Sebab lain terjadinya konflik gereja HKBP di Bekasi ini dikarenakan warga merasa terganggu akan aktivitas gereja tersebut sehingga kegiatan beribadah di Gereja HKBP di bekasi tersebut sering dibubarkan (Viva News, 2010).

Kasus kedua merupakan sebuah kasus terbaru yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2012. Kasus ini serupa dengan kasus pertama yang telah dikutip sebelumnya. Pada malam itu jemaat Gereja HKBP Filadelfia gagal melaksanakan kebaktian malam natal dikarenakan adanya protes dari warga Jelayan, Bekasi. Pembubaran tersebut cukup membuat ricuh keadaan pada malam itu (Kompas, 2012).

Kasus ketiga merupakan sebuah kasus yang terjadi pada bulan Agustus 2012. Intoleransi juga terjadi di dalam satu agama yang memiliki beberapa aliran, seperti kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Konflik yang terjadi adalah pembubaran pengajian jemaah Majelis Tafsir Al-quran (MTA) oleh aktivis muda Nahdatul Ulama (NU) (Ucanews, 2012).

Ketiga kasus yang telah disebutkan diatas memiliki satu kesamaan, yaitu adanya intoleransi beragama di Indonesia. Intoleransi tidak hanya terjadi antar dua agama yang berbeda (Kristen dan Islam) seperti yang telah disebutkan pada dua kasus pertama, melainkan juga terjadi pada satu agama yang sama tetapi memiliki beberapa aliran seperti yang sudah disebutkan pada kasus ketiga. Ketiga kasus tersebut dapat digolongkan menjadi kasus intoleransi karena perlakuan satu golongan merugikan golongan lainnya yaitu dengan membubarkan kegiatan keagamaan yang sedang dilaksanakan. Pembubaran tersebut terjadi karena tidak ada rasa toleransi dengan agama atau golongan lain yang memilki perbedaan dengan golongannya.

Masyarakat Indonesia sendiri beranggapan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai dan mengedepankan toleransi beragama. Namun pada kenyataannya dalam beberapa kasus diatas dan kasus-kasus lainnya, menunjukkan bahwa toleransi beragama di negara Indonesia buruk, bahkan cenderung menunjukkan tidak adanya toleransi. Hal ini melahirkan citra bangsa yang buruk, karena meskipun Indonesia memiliki identitas bangsa yang mengedepankan kesatuan dalam perbedaan, tetapi dalam kenyataannya sangat bertolak belakang. Ketidak konsistensian inilah yang dapat membuat buruk citra Indonesia, tidak hanya di mata masyarakat Indonesia saja melainkan di dunia internasional juga.

Menurut Pace dan Faules (1994) konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain yang disebabkan oleh beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Sedangkan menurut Myers (2004) konflik senantiasa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Berdasarkan kedua pengertian  tersebut dapat disimpulkan bahwa, konflik dapat terjadi karena adanya perbedaan tujuan yang diekspresikan dengan perilaku negatif atau pertikaian antara dua pihak atau lebih. Kasus-kasus yang telah dijelaskan diatas termasuk ke dalam konflik komunitas dimana terjadi “perang” suku, agama, ras, dan antargolongan  (SARA). Ketiga konflik diatas lebih khususnya termasuk ke dalam konflik agama karena adanya perbedaan, yaitu perbedaan visi, misi, serta ajaran pada setiap agama yang diikuti dengan tidak adanya rasa toleransi.

Konflik komunitas dapat dijelaskan dengan social categorization yang diawali dengan creation of groups yaitu menempatkan beberapa orang ke dalam satu kelompok berdasarkan karakteristik tertentu dan menempatkan beberapa orang lainnya ke dalam kelompok lainnya dengan karakteristik yang berbeda (Aronson, 2007). Biasanya dalam dunia sosial, individu mengelompokkan orang-orang bedasarkan karakteristik seperti gender, kewarganegaraan, etnis, agama, dan sebagainya. Hal ini membantu individu untuk menentukan bagaimana cara individu bereaksi pada saat bertemu dengan kelompok  dengan karakteristik tertentu tersebut.  Pada konflik-konflik yang dijelaskan dalam paper ini pembagian karakteristik sesuai dengan agama atau aliran yang dianut.

Terdapat dua hal yang terlahir dari social categorization yaitu in-group bias dan out-group homogeneity. In-group bias (Aronson, 2007) adalah perasaan positif dan perlakuan khusus bagi individu-individu yang didefinisikan sebagai bagian dari kelompok (in-group),serta perasaan negative dan perlakuan tidak adil bagi individu-individu lain yang didefinisikan sebagai bagian dari kelompok lain (out-group).  Sedangkan out-group homogeneity adalah persepsi bahwa individu-individu yang ada dalam out-group  memiliki kesamaan satu sama lain (homogenous) daripada kelompok itu sendiri. Pada kasus-kasus diatas suatu golongan pasti akan memperlakukan individu-individu yang memiliki karakteristik yang sama dengan dirinya lebih istimewa serta memiliki pemikiran yang positif dibandingkan dengan individu-individu yang mem iliki karakteristik berbeda. Mereka juga akan melihat bahwa individu-individu dengan karakteristik yang berbeda dengan mereka cenderung negatif dan menyamaratakan semuanya.

Menurut Tajfel (dalam Aronson, 2007)  motif utama terlahirnya social categorization adalah self-esteem. Individu biasanya cenderung berusaha untuk meningkatkan self-esteem mereka dengan cara mengidentifikasi dirinya dengan kelompok social tertentu. Self-esteem yang dimaksud pada kasus ini adalah kepercayaan diri bahwa ajaran yang mereka anut lebih benar daripada yang lainnya, sehingga mereka akan berkompetisi dan melakukan apa saja untuk mempertahankan dan meningkatkan self-esteem mereka. Cara berkompetisi bisa melalui cara yang baik maupun cara buruk hingga merugikan orang lain. Saat seorang individu mengidentifikasikan diri ke dalam suatu kelompok demi meningkatkan self-esteem, maka individu tersebut akan cenderu g menjelekkan kelompok lainnya. Hal ini lah yang menjadi dasar terjadinya prasangka.

Prasangka adalah sebuah sikap negatif atau bermusuhan kepada sekelompok individu yang dianggap berbeda. Prasangka juga merupakan sebuah komponen kognisi yang didalamnya terdapat keyakinan atau pemikiran yang menentukan suatu sikap, dan di dalam prasangka terdapat komponen prilaku yang berhubungan dengan aksi seseorang. Pada konflik agama ini suatu kelompok akan memiliki prasangka bahwa ajaran kelompok lain lebih buruk dibandingkan dengan ajarannya. Komponen prilaku yang berhubungan dengan aksi tersebut dapat mengarah kepada diskriminasi, dimana diskriminasi merupakan perilaku negative atau membahayakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya terhadap anggota dari suatu kelompok yang hanya dikarenakan keanggotaan dalam kelompok tersebut (Aronson, 2007). Contoh perlakuan diskriminasi dari ketiga kasus diatas adalah dengan membubarkan kegiatan agama yang sedang berlangsung sehingga akan merugikan kelompok lainnya.

Kasus-kasus diatas merupakan bentuk dari diskriminasi antara dua pihak yang memiliki persepsinya sendiri tentang in-group dan out-group. Hal ini jelas menggambarkan akar masalah dari konflik komunitas yang terjadi. Apabila terjadi suatu konflik maka seharusnya konflik tersebut diselesaikan. Penyelesaian konflik dapat ditempuh oleh beberapa cara.

Menurut Aronson (2007), terdapat beberapa cara untuk menyelesaikan konflik. Pertama adalah dengan menggunakan ancaman, kedua dengan menggunakan komunikasi yang melahirkan negotiation and bargaining. Negosiasi dan bargaining sangat penting untuk mencari integrative solution, dimana setiap pihak memberitahukan hal yang tidak penting untuk satu pihak tetapi penting untuk pihak lainnya atau degan kata lain sering disebut dengan “win-win solution”. Integrative solution lebih mungkin dicapai apabila terdapat mediator yang netral yang berguna untuk mengenali  solusi penyelesaian konflik yang dapat disepakati bersama.

Dialog lintas agama merupakan sebuah mediator yang netral sehingga dapat membantu menyelesaikan konflik komunitas yang ada. Dialog lintas agama yang dimaksud adalah dengan menghadirkan para pemuka agama di dalam suatu forum secara bersamaan sehingga setiap agama dapat mengemukakan kepentingannya dan agama yang lain dapat memahaminya. Pelaksanaan dialog lintas agama di sisi lain dapat mengurangi prasangka negative antarkelompok yang  nantinya akan menghilangkan prilaku diskriminatif. Melalui dialog lintas agama maka suatu kelompok akan mengenal kelompok lainnya sehingga dapat menghilangkan persepsi mengenai in-group dan out-group. Harapannya dengan dilakukannya dialog lintas agama, maka kasus-kasus konflik komunitas yang telah dijelaskan diatas dapat dicegah, sehingga kemungkinannya untuk terulang kembali menjadi sangat kecil bahkan tidak akan terjadi di kemudian hari. Apabila konflik-konflik tersebut dapat diselesaikan, maka citra bangsa Indonesia yang tadinya buruk di mata internasional akan membaik. Hal itulah yang membuat dialog lintas agama sangat penting dan perlu dilakukan. Maka dari itu peranan dialog lintas agama adalah sebagai mediator untuk mencapai integrative solution menuju perbaikan citra bangsa Indonesia yang lebih baik.

 

Kesimpulan

Meskipun Indonesia memiliki semboyan yang mengutamakan persatuan diantara perbedaan, tetapi beberapa peristiwa menunjukkan bahwa pada kenyataannya terjadi intoleransi beragama di Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut diantaranya adalah konflik Gereja HKBP-PTI di Bekasi, HKBP Filadelfia, serta konflik antara jemaah MTA dan aktivis muda NU di Kudus. Intoleransi ini merupakan sebuah bentuk diskriminatif dari prasangka yang dibentuk oleh social categorization (pembentukan in-group dan out-group).

Peristiwa yang termasuk perilaku diskriminatif ini merupakan sebuah konflik yang harus diselesaikan. Penyelesaian konflik terbaik dapat ditempuh dari proses negotiation and bargaining yang akhirnya melahirkan integrative solution. Integrative solution dapat dicapai apabila memiliki mediator yang netral, dalam hal ini dialog lintas agama berperan penting sebagai mediator tersebut. Apabila konflik dapat terselesaikan maka akan terjadi perbaikan citra bangsa Indonesia, khususnya di mata internasional.

            Pada akhirnya diharapkan dialog lintas agama dapat sering dilaksanakan diberbagai kesempatan, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat di Indonesia. Apabila hal tersebut sudah dapat dijalankan maka diharapkan  bahwa dialog lintas agama dapat menghilangkan intoleransi beragama di Indonesia, sehinga citra Indonesia mengenai intoleransi meghilang dan citra Indonesia dalam pelopor dialog lintas agama meningkat.

Referensi

 Aronson, E., Willson, T. D. & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. Sixth Edition. New Jersey : Pearson.

Hidayat, F. (2012, Desember 26).  Konflik Agama di Negara Pancasila. Kompas. Retrieved from  http://foto.kompas.com/photo/detail/2012/12/26/6678916531261356454842/konflik-agama-di-negara-pancasila.

Malau,  I. L. F. &  Mahaputra, S. A. (2010, September 14). Kisah Kontroversi  Gereja HKBP di Bekasi. Viva News. Retrieved from http://metro.news.viva.co.id/news/read/177293-kontroversi-eksistensi-jemaat-hkbp-di-bekasi.

Myers, D. (2004). Social Psychology. Eight Edition. New York : Mcgraw Hill Higher Education.

Pace,  R.W. & Faules, D. F. (1994). Organizational Communication.  Third Edition. California : Pearson.

Uca News. (2012, September 12). Konflik Bernuansa Agama di Jawa Tengah Meningkat. Uca News. Retrieved from http://indonesia.ucanews.com/2012/09/12/konflik-bernuansa-agama-di-jawa-tengah-meningkat/

* Karya tulis ini diajukan untuk mengikuti Lomba Karya Tulis “Dialog Lintas Agama di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI bekerja sama dengan Kementerian Agama RI, 2013

** Penulis adalah mahasiswa Psikologi, Binusian 2014.